oleh : Rusdi
FEODALISME
Konsep Dasar
Istilah feodalisme berasal dari bahasa Frankis
(Perancis kuno) yang berbunyi fehu-ôd, feod, feud, dan yang berarti
pinjaman, terutamalah tanah yang dipinjamkan, dan itupun untuk suatu maksud
politik. Lawan kata itu adalah all- ôd atau milik sendiri Dalam
peristilahan hukum adat feodum menyerupai tanah gumantung, gaduh
atau paratantra, sedangkan allod menyerupai tanah yasan, yosobondo atau
svatantra.
Istilah feodalisme
sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah
dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah
ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan
yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul
istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme
semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini
sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak
dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Pada abad petengahan di
Eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir pada masa
renaisanse abad ke-14, sekitar abad ke-3, Romawi pecah menjadi dua wilayah
yakni Romawi barat dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan permulaan
munculnya perekonomian yang biasanya kita sebut sistem feodalisme.
Beberapa faktor yang memunculkan perekonomian tersebut antara lain :
hancurnya organisasi politik secara besar-besaran, pertempuran di Eropa yang
menyebabkan jatuhnya Romawi, hukum dan tata tertib hilang digantikan dengan
peraturan Negara-negara kecil.
Keharusan untuk mencukupi semua kebutuhan hidup menyebabkan timbulnya suatu
organisasi yang baru, yaitu pertanian bangsawan atau manorial estate,
selanjutnya disebut manor. Bagaimanakah bentuk manor ini? Manor meliputi
sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan
suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi
tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian.
Walaupun bangsawa ini termasuk dalam suatu hirarki yang besar, dimana dia
menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi dalam batas-batas manornya
dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemillik dan penguasa yang tak diragukan
lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup
diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebgaimana halnya
rumah, tanah dan tanaman. Disekililing rumah bangsawan terdapat lading rakyat
yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau (satu setengah) 1 ½ setengah
hektar. ½ atau lebih dari hasil lading ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan
sisanya untuk orang yang menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak
belian. Disini terjadi ketimpangan antara budak belian dan tuan tanah.
Dalam
abad-abad itu makin lama makin banyak pemilik tanah yang bebas (yang ber-allod)
dengan sukarela menyerahkan miliknya agar menjadi feod, milik orang lain,
dengan mempertahankan hak pakai dan hak-guna-usaha atas tanahnya dahulu, dan
dengan menerima hak-hak pelindungan. penjumlahan undang-undang tidak sanggup
menghalang-halangi timbulnya kemerosotan. Ada tuan-tuan tanah yang
menyalahgunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, dengan menindas rakyat,
ada pula yang memberontak terhadap pemerintah pusat dan menyatakan diri pemlik
mutlak atas tanah yang dipinjamkan kepadanya. Tetapi tidak kurang pula
penduduk-penduduk tanah pinjaman yang mengambil-alih tanah yang dipakanya
menjadi tanah milik seorang. Huru-hara itu merupakan batu loncatan bagi
penghapusan ke-feodal-an.
Pada
tahun 1660 pemerintah Inggris membatalkan segala hak feodal. Tahun 1717 Negara
Brandenburg mulai menjalankan allodifikasi (peralihan hak) dari tanah-tanah
pinjaman. Pruisen menirunya tahun 1750. Montesquieu, seorang filsuf Prancis,
dalam bukunya yang terkenal L’Esprit des Lois (th. 1748) untuk pertama kalinya
menganjurkan istilah feodalisme untuk segala apa yang bersangkut paut dengan
pemerintahan atas dasar pinjaman tanah. Ditambahkan olehnya bahwa feodalisme
Frankis-Jerman adalah suatu peristiwa dalam sejarah yang hanya satu kali
terjadi dan agaknya tidak pernah akan muncul kembali. Dalam revolusi Perancis
segala hak feodal dibatalkan dalam putusan 4 Agustus 1789 dan 17 Juli 1793,
Nederland meniru pembatalan itu dalam 1800. Jerman, baru pada tahun 1850, sebagai
akibat pemberontakan 1848, mencabut susunan feodal. Austria menjalankan
pencabutan itu dalam 1862, ialah belum berselang satu abad dari saat ini.
Sistem
feodalisme ini kemudian digeser oleh sistem kapitalisme yang dimulai di Italia,
dimana hubungan antara kelas tuan tanah dan pekerja sangat jelas. Mobilitas
sosial sangat tinggi, dan manusia tidak dinilai berdasarkan keturunan, namun
dinilai dari kemampuan keterampilan dan kerjanya. Inilah yang menjadi dasar
perbedaan antara feodalisme dan kapitalisme.
Feodalisme di Indonesia
Feodalisme juga berkembang di Indonesia. Feodalisme terlahir dari adanya
kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa Hinduisme telah
dominan di Nusantara ini sebelum datangnya Islam dan kolonialisme, Karena
memang kerajaan Hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara ini.Sistem yang
melekat dalam kerajaan Hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia
sesuai dengan derajatnya tersebut.Feodalisme yang terjadi pada zaman kerajaan
Hindu adalah pembagian kasta,dan menguasai Nusantara sekitar 10 abad
lamanya. Feodalisme juga berkembang pada masa Islam yaitu dalam model adat
wakaf.
Feodalisme juga berkembang pada masa kolonial Belanda, walaupun Belanda
mengembangkan sistem kapitalisme perkebunan di Indonesia yaitu dengan model
“Tanam Paksa”, namun dalam pelaksanaannya tidak lepas dari tatanan yang feodal,
dengan menggunakan bantuan orang-orang lokal.
Pada masa kini, di Indonesia selanjutnya muncul kebudayaan neo-feodalisme.
Neo-feodalisme adalah feodalisme modern. Seperti yang kita ketahui feodalisme
adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem kasta,dalam neo-feodalisme
sistem kasta masih dipertahankan namun berubah bentuk menjadi penguasa
dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan berkembang dalam
sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan Negara kita.
LIBERALISME
2.1 Konsep Dasar Liberalisme
Liberalisme
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik
yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang
bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme
menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme
menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung
usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem
pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan
individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi
tumbuhnya kapitalisme.
Dalam
masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal
ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan
Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini
hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak
terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang
dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened)
dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan
rahasia, dengan menghargai
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk
menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan
Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut
liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from
restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari
pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan
kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh
segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau
demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem
ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik
atau pemerintahannya. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli
istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena
demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama
“demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi
diktatur proletar. (Budiardjo, 1992:89).
Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah
(1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara.
Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam
ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang
politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama,
yaitu sekularisme (fashl al-din ‘an al-hayah).
2.2 Sejarah dan Perkembangan Liberalisme
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah
peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen
mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero
(tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu
kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era
awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah
kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa
yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w.
337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani.
Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan
agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium
Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan
dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark
Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan
disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M),
Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas
mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik,
sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh
kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan
merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan
adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517),
dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John
Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans
pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592),
yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari
kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Dalam
perkembangannya, ada dua corak liberalisme, liberalisme yang dipelopori oleh
John Locke dan liberalisme yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau. John
Locke berpendapat bahwa kebebasan yang menjadi nilai dasar liberalisme dipahami
sebagai ketidakhadiran intervensi eksternal dalam aktivitasaktivitas individu.
Kebebasan adalah hak properti privat. Karenanya, pemerintah bersifat terbatas
(minimal) terhadap kehidupan warganya. Untuk itu harus ada aturan hukum yang
jelas dan lengkap dalam menjamin kebebasan sebagai hak properti privat ini.
Corak liberalisme ini kemudian mendasari dan menginspirasi munculnya
libertarianisme yang dipelopori oleh Alexis de Tocqueville, Friedrich von Hayek
dan Robert Nozick.
Di
sisi lain Rousseau berpendapat bahwa pemerintah harus tetap berfungsi menjamin
terlaksananya kebebasan individu dalam masyarakat. Corak liberalisme ini
selanjutnya mendasari dan menginspirasi munculnya liberalisme egalitarian,
dengan tokohnya antara lain John Rawls dan Ronald Dworkin. Liberalisme ini
berusaha menyatukan ide kebebasan dan kesamaan individu dalam masyarakat.
Pemerintah dibutuhkan untuk meredistribusikan nilainilai sosial dalam
melaksanakan dan mencapai kebebasan dan kesamaan individu-individu dalam
masyarakat. Kebebasan hanya dapat dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik
dengan kebebasan dasar yang lain yang lebih luas. Karenanya, kebebasan menurut
liberalisme bukan sesuatu yang absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi
kebebasan itu sendiri.
Setiap
orang bebas memilih konsep tentang hidup yang baik, meskipun sangat berbeda
dengan nilai dan pilihan hidup anggota komunitas yang lain. Namun, konsep
tersebut tidak boleh melanggar prinsip keadilan. Orang-orang dengan konsep
hidup yang berbeda-beda akan saling menghormati, bukan karena hal ini
mempromosikan satu cara hidup bersama. Namun, karena mereka mengakui bahwa
tiap-tiap orang memiliki klaim pertimbangan yang sama. Tidak ada tugas khusus
yang ditetapkan komunitas terhadap individu. Tidak ada kelompok atau praktek
sosial tertentu yang memiliki kewenangan di luar penilaian dan kemungkinan
penolakan individu. Tidak ada yang “ditetapkan untuk seseorang” atau tidak ada
yang berwewenang memberikan penilaian terhadap seseorang selain nilai yang
ditetapkan oleh orang tersebut.
Pemerintah
menurut liberalisme harus bersikap netral terhadap konsep apa pun tentang hidup
yang baik, yang dianut dan dipilih oleh warganya. Pemerintah tidak boleh
memberikan prioritas pada satu nilai di atas nilai yang lain, atau tidak
menyokong dan mengabaikan salah satu nilai yang ada.
Liberalisme
menganggap bahwa intervensi pemerintah untuk menyokong salah satu nilai atau
pilihan hidup dan mengabaikan nilai atau pilihan hidup yang lain, melanggar dan
membatasi otonomi individu, yang menjadi nilai liberalisme. Ide netralitas
negara tidak membenarkan adanya tindakan atas dasar superioritas atau
inferioritas intrinsik dari berbagai konsep tentang kehidupan yang baik. Tidak
boleh ada tindakan yang secara sengaja atau tidak sengaja berusaha mempengaruhi
penilaian-penilaian orang tentang nilai dari berbagai konsep yang berbeda ini.
Kebebasan sebagai nilai yang esensial dalam kehidupan manusia akan terancam
dengan adanya pemaksaan suatu pandangan khusus tentang kehidupan yang
baik pada
setiap orang.
2.3
Tokoh-Tokoh Pencetus Faham Liberalisme
a) John Locke
Pada bidang politik John Locke adalah seorang pelopor gagasan liberal pada
abad ke-18. Dia adalah pemikir pertama yang menggagas prinsip pembagian
kekuasaan (Separation of Power) yang ditegaskan oleh Montesquieu. Locke
melontarkan pandangan bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif harus dipisahkan
jika ingin menghindari terjadinya kezaliman kekuasaan. John Locke menjadi
terkenal karena dua karyanya tentang dua pemerintahan sipil, Two Treatises
on Civil Goverment pada tahun 1690. John Locke menggangap bahwa keadaan
manusia secara alamiah cenderung berada dalam kedamaian, kebajikan, saling
melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan diwarnai dengan
kesetaraan. Manusia ketika lahir memiliki kebebasan dan hak asasi. Menurut
Locke pengakuan hak asasi manusia (HAM) dn kekuasaan hukum adalah dua macam
perjanjian masyarakat (Ebyhara, A. 2010:151-155).
b) Voltarie
Voltarie adalah seorang tokoh liberalisme Prancis. Nama sebenarnya adalah
Francois Marie Arouet. Ia lahir di Prancis pada tahun 1694. Atas pemmikirannya
yang sangat revolusioner inilah yang menyebabkan ia harus di penjara. Setelah
ia dibebaskan kemudian ia tinggal di Inggris. Di Inggris ia belajar bercakap
dan menulis dalam bahasa Inggris, ia juga berkenalan dengan cendekiawan Inggris
secara pribadi. Voltarie sangat terkean dengan ilmuan-ilmuan Inggris serta
faham yang berpegang pada perlu adanya percobaan secara praktek dan bukan hanya
berpegang pada teori. Selain itu sistem politik Inggris juga mempengaruhi
pemikirannya. Demokrasi Inggris dan kebebasan yang ada di Inggris inilah yang
memberi kesan kepada Voltarie bahwa kehidupan politik Inggris lebih baik dari
pada di Prancis. Setelah Voltarie kembali ke Prancis, ia menuliskan sebuah buku
yang berisi tentang sistem politik Inggris serta pikiran-pikiran John Locke dan
pemikiran-pemikiran Inggris lainnya. Akibat penulisan buku ini ia diusir dari
Paris. Setelah itu ia menjadi seorang penulis yang tulisannya melebihi 30.000
halaman.
Voltarie adalah seorang yang sangat toleransi terhadap agama. Ia pernah
mengabdikan dirinya ke dalam “jihad intelektual” melawan fanatisme agama.
Kesemua surat-suratnya senantiasa ditutupnya dengan kalimat "Ecrasez l'infame"
yang maknanya "Ganyang barang brengsek itu!" Yang dimaksud Voltaire
"barang brengsek" adalah kejumudan dan fanatisme (Hart. M. Tanpa
Tahun).Dalam karya tulis Voltarie sangat banyak, salah satu pendirian Voltarie
adalah terjamin kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
c)
Jean-Jacques Rousseau
J.J Rousseau lahir di Jenewa,
Swiss. J.J Rousseau adalah seorang filosof, penulis ia menghasilkan gagasan
tentang berbagai bidang. dan komposer pada abad pencerahan. Pemikiran
filosufnya mempengaruhi Revolusi Prancis. Rousseau mulai terkenal pada tahun
1749 ketika karyanya “Discourse on the Arts and Sciience”, memenangkan
penghargaan yang diberikan oleh Akademi Dijon untuk esai terbaik yang bertajuk
apakah kebangkitan ilmu ikut andil dalam memperbaiki perilaku. Karya-karyanya
J.J Rousseau mengandung ambiguitas dan tidak konsisten menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda di kalangan pembaca dan pemerhati gagasan-gagasannya. Kadang
ia tampak sebagai seorang yang mendukung kebebasan individu, kadang dalam
tulisan lain juga tampil sebagai pendukung absolutisme negara. akan tetapi
Rousseau tampaknya lebih banyak dikenang dan memiliki pemikiran yang lebih
berpengaruh dibandingkan Montes Quieu. mungkin karena ia sangat menjunjung
tinggi kebebaan sipil dan terlalu kencang dalam memberikan uraian tentang
kebebasan (Ebyhara, A. 2010:160-163).
d)
Montesquieu
Seorang tokoh yang bekerja sebagai hakim mahkamah
tinggi di bordeaux ini memiliki nama
lengkap Baron de Montesquieu merupakan seorang tokoh yang mencetuskan banyak
teori politik besar pada masanya, yakni pada pada masa pencerahan. Montesquieu
adalah seorang tokoh yang mendasarkan pemikirannya pada ehidupan nyata. Salah
satu karya besarnya tentang politik dan negara adalah The Spirit of Law.
Dalam karya ini, ia mendefinisikan hukum sebagai rasio manusia yang mengatur
semua penduduk bumi: hukum politik dan sipil setiap bangsa seharusnya hanya
merupakan khasus-khasus partikular sebagia buah dari proses akal manusia dan
harus disesuaikan dengan orang-orang yang untuk merekalah hukum-hukum tersebut
dikerangkakan. Dengan akal, manusia tak sepenuhnya dikuasai oleh alam, ia
adalah mahkluk yang bebas dan bisa membantu menantukan takdirnya dan mencapai
tujuan yang sebenarnya. hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya
orang yang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan (Ebyhara, A.
2010:158-160). dari pernyataan yang
sudah ada di atas tersebut dapat kita simpulkan bahwa Monstiqueui juga
sependapat dan menghargai kebebasan kebebasan individu dalam suatu negara.
dimana setiap individu berhak menentukan
jalannya masing masing. dan dalam suatu negara yang berhak menentukan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang ada dalam negara tersebut adalah
manusia-manusia yang tinggal di negara itu sendiri.
2.4 Sejarah Penetrasi Pemikiran
Liberal di Indonesia
Liberalisme merupakan paham yang masuk secara paksa ke Indonesia melalui
proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara
sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119
yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak
memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje
kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu
kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia.
Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek
adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan,
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang
kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat
agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan,
pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme
dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).
Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin
menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi,
yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan
kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan
Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang
Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan
politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183).
2.5 Pengaruh
Liberalisme Terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia
2.5.1
Liberalisme dalam Bidang Politik
Pelaksanaan politik liberal ternyata lebih berat daripada tanam paksa. Pada
masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang
kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara
tidak langsung melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar
oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang
besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa
jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi
mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang. Disamping itu,
para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak
dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan
oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan
yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika
tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale
Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh
yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini
menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat
semakin menderita (Suwanto, dkk., 1997 : 29-30).
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda,
sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta
maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung.
Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam
mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan.
Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan
menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal
yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi
bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto, 2006 :128).
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa
pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas
menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian
Hindia Belanda. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi
modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha
atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan
birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif, 2007). Kaum
liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat
menimbulkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini
dapat terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota
untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan
oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat.
3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang
kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan semakin luas
(Suwanto,dkk,1997:30).
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme merupakan ideologi yang dapat mengancam
kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material, di dalamnya
terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan
sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya
secara material adalah upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan
untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat
nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi
liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila
tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme menawarkan prinsip kebebasan
individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan,
dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem
pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan
negara (pemerintah) dalam menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat.
Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang menggunakan
ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk
mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang
dicita-citakan ideologi Pancasila tidak bisa atau tidak cukup dengan hanya 50%
ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan
dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
2.5.2 Liberalisme dalam bidang ekonomi
Sistem ekonomi kolonial antara tahun-tahun 1870 hingga 1900 disebut sistem
liberalisme. Pada masa itu, modal swasta diberi peluang untuk mengusahakan
kegiatan di Indonesia khususnya di perkebunan-perkebunan besar. Pembukaan
perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Agraria tahun
1870. UU Agraria ini melindungi hak milik petani-petani Indonesia atas tanah
mereka. Di sisi lain membuka peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah dari
rakyat Indonesia. Zaman Liberal merupakan penetrasi ekonomi uang yang lebih
mendalam bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan penyewaan tanah
penduduk pribumi oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan
perkebunan-perkebunan besar.
Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia
selama zaman Liberal tidak terbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan,
tapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang dihasilkan oleh
industri-industri yang berkembang di Belanda (Kartodirjo, 2010: 372).
Ketika Negara Kolonial Hindia Belanda berdiri dan memperluaskan
pengaruhnya, masyarakat Indonesia berada di dalam kehidupan politik yang hampir
serupa, yakni dalam bentuk kerajaan atu kesultanan dan bukan kerajaan. Ketika
negara Hindia Belanda menanamkan kekuasaannya, berlangsung perubahan. Di
sepanjang abad ke-19 perubahan luas dan mendalam terjadi pada masyarakat Pulau
Jawa (Marwati & Nugroho, 2010:1).
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik
kolonial liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta
untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap menyengsarakan
rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata untuk
kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara menguasai
bangsa Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah (Hamdi, 2013) .
Sistem dualistis merupakan alat utama untuk mempertahankan kondisi kolonial
dalam arti subordinasi kepentingan daerah jajahan untuk kepentingan negara
induk. Apa yang lazim dinamakan Periode Liberal (sejak tahun 1870) tidak lain merupakan masa perdagangan bebas
atau perusahaan bebas yang membuka sumber-sumber alam yang kaya raya di
Indonesia bagi perusahaan-perusahaan Barat (Marwati & Nugroho, 2010:10).
Pelaksanaan politik kolonial liberal sering disebut Politik Pintu Terbuka
(Opendeur Politiek), yaitu membuka modal swasta asing untuk ditanamkan di
Indonesia. Politik “pintu terbuka” terpaksa secara konsekuen dijalankan oleh
Belanda karena banyak ditanam untuk menghasilkan bahan-bahan ekspor. Untuk
menjamin ekspor itu perlu dilakukan “politik terbuka” bagi negeri-negeri asing
(Broek, 1942:106). Dengan politik tersebut, Indonesia sebagai tempat untuk
mendapatkan bahan mentah, mendapatkan tenaga yang murah, tempat pemasaran
barang produk Eropa serta tempat penanaman modal asing. Modal swasta Belanda
serta modal bangsa Barat lainnya masuk ke Indonesia dan ditanamkan ke dalam
pertanian dan perkebunan sehingga perkebunan tebu dan tembakau berkembang
pesat.
2.5.3 Liberalisme dalam Bidang Agama
Lebih jauh lagi, ternyata liberalisme telah masuk dalam wilayah
agama. Sehingga dapat ditebak tentang liberalisme masuk dalam wilayah agama.
Maka sebuah kenyataan pahit akan terjadi dalam sebuah gagasan tentang agama
yang cenderung mengedepankan aspek individu dan menegasikan aspek sosial.
Berangkat dari sinilah bangunan agama dalam kehidupan masyarakat akan terjadi
sebuah kerancuan antara teks dan konteks.
Paling berbahaya lagi, ketika liberalisme berubah wajah dengan
istilah Islam liberal. Sebab di saat liberalisme masuk dalam ranah agama Islam,
tentu akan terjadi sebuah tafsir yang mengedepankan akal secara berlebihan.
Sehingga menghasilkan sebuah hipotesis antara teks dan konteks tidak sejalan.
Mengingat Islam liberal cenderung mengarah pada aspek kontekstual di banding
aspek tekstual.
Keberadaan Islam merupakan agama fitrah. Ketika disandingkan dengan
kebebasan individu secara berlebihan, tentu akan mempersempit makna Islam itu
sendiri. Sebab Islam merupakan pengejawantahan antara aspek sosial dan individu
secara utuh, tetapi tidak secara parsial dalam menerjemahkan sebuah persoalan
masyarakat.
Paradigma liberalisme yang mengedepankan kebebasan individu, tetapi
melupakan kebebasan sosial, tentu akan menghasilkan sebuah kerancuan dalam
bangunan masyarakat. Berangkat dari sinilah sudah semestinya gagasan
liberalisme merupakan sebuah ide yang tidak menyentuh secara utuh antara
kepentingan individu dengan kepentingan sosial, tetapi Islam sangat utuh dalam
menggambarkan masyarakat secara kaffah.
Masalah hubungan antara makhluk dengan penciptanya adalah masalah pribadi.
Oleh karena itu menurut golongan liberal, tidak seorangpun yang diperkenankan
mempengaruhi atau memaksa kebebasan beragama.. Kebebasan beragama ini mempunyai
arti :
a.
Bebas untuk memilih
suatu agama,
b.
Bebas untuk menjalankan
ajaran agama sesuai dengan agamanya,
c.
Bebas untuk tidak
memilih agama.
NASIONALISME
1.
Konsep Dasar Nasionalisme
Nasionalisme berasal
dari kata nation (Inggris) adalah suatu paham modern yang menjadi dasar
pergerakan-pergerakan politik di dunia. Paham ini pertama kali lahir di
Inggris. Pengertian nasionalisme berhubungan erat dengan pengertian bangsa (nation).
Bangsa adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki
hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita,
dan tujuan.
Berbagai pendapat
tentang nasionalisme berdasarkan pandangan yang berbeda. Hans Kohn memandang
nasionalisme dari sudut politik mengatakan: “Nationalism is a state of mind,
in which supreme loyalty of the individual is felt to be due to the
nation-state.” (Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa
kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan).
Lothrop Stoddard
memandang nasionalisme sebagai gejala psikologis, mengatakan: “Nasionalisme
adalah suatu keadaan jiwa (a state of mind), suatu kepercayaan yang
dianut oleh sejumlah besar manusia sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan.
Nasionalisme adalah suatu rasa kebersamaan segolongan (a sense of belonging
together) sebagai suatu bangsa.
J. Ernest Renan
(1823-1892) dan Otto Bouwer (1882-1939) memandang nasionalisme timbul karena
faktor kemanusiaan. Renan mengemukakan bahwa munculnya suatu bangsa karena
adanya kehendak untuk bersatu (satu suara persatuan). Sedangkan Bouwer
mengungkapkan bahwa perasaan kebangsaan timbul karena persamaan perangai dan
tingkah laku dalam memperjuangkan persatuan dan nasib bersama. Meskipun
keduanya berpendapat bahwa nasionalisme timbul karena faktor kemanusiaan, namun
keduanya memberikan tekanan yang berbeda. Menurut Ernest Renan, suatu bangsa
timbul karena dorongan kemauan (contohnya bangsa Amerika Serikat), sedangkan
Otto Bouwer, suatu bangsa timbul karena pengalaman penderitaan, kesengsaraan,
dan kepahitan hidup yang sama. Contoh seperti nasionalisme di negara-negara
Asia dan Afrika timbul akibat persaman nasib sebagai bangsa yang terjajah.
Sejarawan Indonesia,
Sartono Kartodirdjo menjelaskan nasionalisme sebagai fenomena historis timbul
sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politis, ekonomi, dan sosial
tertentu. Nasionalisme dalam taraf pembentukannya seperti masa-masa Pergerakan
Nasional dihubungkan dengan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur itu dapat
dilihat dengan adanya istilah-istilah: group counsciousness, we-sentiment,
corporate will dan bermacam-macam fakta mental lainnya. Pada taraf ini
nasionalisme belum memasukkan unsur-unsur objektif seperti teritorial
(wilayah), negara, bahasa, dan tradisi bersama.
Dalam Ensiklopedi
Nasional Indonesia dijelaskan bahwa nasionalisme adalah paham kebangsaan yang
tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup
bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan
maju dalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna
mencapai, memelihara dan mengabdi identitas, persatuan, kemakmuran, dan
kekuatan atau kekuasaan negara bangsa yang bersangkutan.
Berdasar pendapat di
atas dapatlah dikatakan bahwa nasionalisme adalah suatu gejala psikologis
berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran
sebagai suatu bangsa. Dengan demikian nasionalisme merupakan dasar terbentuknya
suatu bangsa.
2. Sejarah dan
Perkembangan Nasionalisme
a.
Perkembangan Awal
Kebanyakan teori menyebutkan bahwa sejarah nasionalisme dan
nilai-nilainya bermula dari Eropa. Sebelum abad ke-17, belum terbentuk satu
negara nasional pun di Eropa. Yang ada pada periode itu adalah kekuasaan
kekaisaran-kekaisaran yang meliputi wilayah yang luas, misalnya kekuasaan
kekaisaran Romawi Kuno atau Kekaisaran Jerman di bawah pimpinan Karolus Agung.
Yang jelas, kekuasaan bergandengan tangan dengan gereja Katolik, sehingga
masyarakat menerima dan menaati penguasa yang mereka anggap sebagai titisan
Tuhan di dunia. Karena itu, kesadaran akan suatu wilayah (territory)
sebagai milik suku atau etnis tertentu belum terbentuk di Eropa sebelum abad
ke-17.
Di awal abad ke-17 terjadi perang besar-besaran selama kurang lebih
tiga puluh tahun antara suku bangsa-suku bangsa di Eropa. Misalnya, perang
Perancis melawan Spanyol, Prancis melawan Belanda, Swiss melawan Jerman, dan
Spanyol melawan Belanda, dan sebagainya. Untuk mengakhiri perang ini suku
bangsa yang terlibat dalam perang akhirnya sepakat untuk duduk bersama dalam
sebuah perjanjian yang diadakan di kota Westphalia di sebelah barat daya
Jerman. Pada tahun 1648 disepakati Perjanjian Westphalia yang mengatur
pembagian teritori dan daerah-daerah kekuasaan negara-negara Eropa yang umumnya
masih dipertahankan sampai sekarang.
Meskipun nasionalisme adalah unik untuk dunia
modern, beberapa unsur-unsurnya dapat ditelusuri sepanjang sejarah. Akar
pertama nasionalisme mungkin bisa ditemukan dalam Ibrani kuno, yang dikandung
dari diri mereka sebagai orang kedua yang dipilih, yaitu, suatu bangsa secara
keseluruhan lebih tinggi daripada semua orang lain, dan orang-orang dengan
sejarah budaya yang umum. Yunani kuno juga merasa lebih tinggi daripada semua
bangsa lain dan terlebih lagi merasakan perasaan kesetiaan yang begitu besar
kepada komunitas politik. Perasaan superioritas budaya (etnosentrisme), yang
mirip dengan nasionalisme, memberi jalan untuk lebih universal identifikasi di
bawah Kekaisaran Romawi dan dengan Gereja Kristen melalui ajaran kesatuan
kemanusiaan.
Seperti kerajaan-kerajaan yang terpusat kuat dibangun dari negara-negara
feodal kecil, sebagai bahasa daerah dan bentuk-bentuk seni yang berkembang, dan
sebagai melebar ekonomi lokal, identifikasi populer dengan perkembangan ini
menjadi semakin kuat. Di daerah-daerah seperti Italia, yang belum satu bangsa, berulang invasi
pemikir seperti seperti Niccolò Machiavelli untuk mengadvokasi federasi politik nasional.
Perang keagamaan dari Reformasi mengatur bangsa melawan bangsa, meskipun
loyalitas kuat terus mengikuti sultan. Ekonomi nasionalistis doktrin merkantilisme muncul.
Pertumbuhan kelas menengah, keinginan mereka
untuk kekuasaan politik, dan akibatnya perkembangan teori politik yang
demokratis yang berhubungan erat dengan munculnya nasionalisme modern. Para
ahli teori Revolusi Perancis orang berpendapat bahwa pemerintah harus
menetapkan kesetaraan dan kebebasan bagi semua orang.Bagi mereka bangsa tidak
dapat dipisahkan dari rakyat, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah suatu
bangsa dapat menciptakan sebuah pemerintah sesuai dengan kehendak umum bangsa.
Meskipun tujuan mereka yang universal, mereka memuliakan bangsa yang akan
menetapkan tujuan mereka, dan nasionalisme menemukan ekspresi politik pertama.
b.
Abad Kesembilan Belas
Pada abad ke 19 nasionalisme menjadi luas dan
kuat. Selama masa ini nasionalisme mengekspresikan dirinya dalam banyak bidang
sebagai drive untuk persatuan nasional atau kemerdekaan. Semangat nasionalisme
itu terus yang sangat kuat di Jerman, dimana pemikir seperti Johann Gottfried
von Herder dan Johann Gottlieb Fichte telah mengembangkan gagasan Volk. Namun, nasionalisme yang mengilhami orang-orang Jerman untuk bangkit
melawan kekaisaran Napoleon I adalah konservatif, tradisi-terikat, dan sempit
daripada liberal, progresif, dan universal. Dan ketika Jerman terpecah akhirnya
bersatu sebagai Kekaisaran Jerman pada tahun 1871, itu yang sangat otoriter dan
militeristik negara. Setelah bertahun-tahun berperang, Italia juga mencapai
penyatuan nasional dan kebebasan dari dominasi asing, tetapi daerah-daerah
tertentu yang dihuni oleh Italia (misalnya, Trieste) tidak dimasukkan dalam
negara baru, dan hal ini menimbulkan masalah irredentism. Di Amerika Serikat, di mana nasionalisme itu
yang tampak dirinya dalam doktrin Manifest Destiny, persatuan nasional
dipertahankan pada biaya Perang Saudara.
Di paruh kedua abad ke 19., Ada gerakan-gerakan nasionalis yang kuat di
antara bangsa-bangsa tunduk pada supranasional Austria dan kerajaan Utsmani,
karena ada di Irlandia di bawah pemerintahan Inggris, dan di Polandia di bawah
kekuasaan Rusia. Pada saat yang sama Namun, dengan munculnya di Eropa yang kuat, terpadu
negara-bangsa, nasionalisme menjadi semakin menjadi sentimen konservatif. Itu
berbalik melawan gerakan internasional seperti itu sebagai sosialisme, dan
menemukan outlet dalam mengejar kemuliaan dan kerajaan. Konflik
nasionalis banyak yang harus dilakukan dengan membawa pada Perang Dunia I.
c. Pada Abad ke 20
Awal abad ke 20, Dengan pecahnya Austria-Hongaria
dan Kekaisaran Ottoman, melihat pembentukan banyak negara yang independen,
terutama melalui perjanjian damai mengakhiri Perang Dunia I. Konferensi
Perdamaian Paris menetapkan prinsip nasional menentukan nasib sendiri, ditopang
oleh Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara
penentuan nasib sendiri adalah sebuah prinsip nasionalis, itu juga mengakui
persamaan dasar dari semua bangsa, besar atau kecil, dan karena itu melampaui
nasionalisme sempit yang mengklaim superioritas bagi dirinya sendiri.
Saat itu persis jenis terakhir ini nasionalisme
Namun, yang muncul di Nazi Jerman, khotbah keunggulan yang disebut ras Arya dan
perlunya pemusnahan orang Yahudi dan orang-orang Slavia perbudakan di
"ruang hidup" Italia fasisme adalah dengan cara yang sama didasarkan pada
sentimen nasionalis ekstrim. Pada saat yang sama, Asia dan Afrika wilayah
kolonial, yang berusaha membuang kekaisaran obligasi, sedang berkembang gerakan
nasionalis. Mungkin yang paling terkenal ini adalah Kongres Nasional India, yang berjuang untuk kemerdekaan India selama
lebih dari 60 tahun. Setelah Perang Dunia II, nasionalisme di Asia dan Afrika
seperti tersebar di kecepatan yang cepat puluhan baru "bangsa" yang
dibuat dari bekas kolonial kepemilikan teritorial.
Meskipun saling ketergantungan dan komunikasi
global yang saling berhubungan semua bangsa oleh 1990-an, nasionalisme
tampaknya telah tumbuh lebih ekstrim dengan pecahnya imperium Soviet,
pertumbuhan fundamentalisme Islam, dan keruntuhan Yugoslavia. Xenophobia,
gerakan separatis tidak perlu terbatas pada negara-negara yang baru merdeka,
mereka muncul di banyak negara Eropa dan Kanada, serta India, Iran, Irak,
Turki, Libanon, Indonesia, Sri Lanka, dan banyak lainnya. Organisasi
internasional seperti PBB, Uni Eropa, Organisasi Negara-negara Amerika, dan
Organisasi Persatuan Afrika, mewakili upaya untuk mengekang ekstrem
nasionalisme, menekankan kerjasama antar bangsa.
Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang
dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya
dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosiokultural yang ada di
masing-masing negara. Pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri
atas persamaan-persamaan darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat tinggal,
kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Nasionalisme akan muncul ketika suatu
kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat
primordial berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah
kehidupan mereka. Lambat laun ada unsur tambahan, yaitu dengan adanya persamaan
hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakat
(demokrasi politik dan demokrasi sosial) serta adanya persamaan kepentingan
ekonomi. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah nasionalisme modern.
Semangat nasionalisme itu kemudian menyebar ke seantero dunia dan
mendorong negara-negara Asia-Afrika memperjuangkan kemerdekaannya. Hal ini
terjadi setelah Perang Dunia I dan selama Perang Dunia II. Hanya dalam dua
puluh lima tahun pasca Perang Dunia II, sekitar 66 negara-bangsa pun lahir.
Indonesia termasuk salah satu dari negara bangsa yang baru lahir pasca Perang
Dunia II ini. Di abad ini, semangat nasionalisme telah mendorong negara-negara
di bawah bekas Yugoslavia dan bekas Uni Soviet lahir sebagai negara-negara
bangsa. Dapat dipastikan bahwa ke depan, nasionalisme akan terus menjadi
ideologi yang menginspirasi dan mendorong gerakan pembentukan komunitas bersama
berdasarkan karakteristik etnis, kultur, atau pun politik.
3. Nasionalisme di Indonesia
Transformasi politik di kawasan Asia dan Afrika pasca-Perang Dunia II
memiliki kecenderungan berupa faham sosialisme yang cukup mendominasi. India,
Birma, bahkan Indonesia sekalipun memiliki unsur sosialisme yang sangat kental
di dalam pergerakan nasionalismenya . Di India, pemerintahan Pandit Jawaharlal
Nehru yang berlangsung pada masa awal kemerdekaan India sangat bernuansa
sosialis demekian pula Birma, unsure komunisme berperan cukup besar. Mayoritas
kursi pemerintahan Birma oleh orang-orang berpemikiran sosialisme-komunisme. Di
Indonesia, faham komunisme berkembang dengan dibentuknya Partai Komunis
Indonesia pada masa pergerakan nasional, tetapi surut pada masa pendudukan
Jepang. Gerakan komunis muncul lagi pasa Perang Dunia II ketika terjadi
pemberontakan komunis pada 1948 di Madiun.
Versi sejarah yang sekian lama diakui menetapkan bahwa perlawanan politik
pertama adalah pembentukan organisasi yang dikenal dengan Boedi Oetomo (Budi
Utomo) pada 20 Mei 1908, peristiwa itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan
Nasional. Agaknya versi ini layak ditinjau ulang, Boedi Oetomo sesungguhnya
tidak mencerminkan kebangsaan tetapi kesukuan. Organisasi tersebut membatasi
keanggotaannya hanya untuk suku Jawa dan Madura serta lapisan elit pula.
Penulis cenderung berpendapat bahwa organisasi yang cocok dinilai berskala
nasional adalah Jamiyyatul Khairiyyah. Walaupun para pembentuknya adalah keturunan
Arab tetapi terbuka untuk kaum Muslim, umat mayoritas di Indonesia. Lagi pula
dibentuk lebih dahulu dari Boedi Oetomo yaitu tahun 1901.
Pembentukan organisasi dengan berbagai faham atau bidang segera terjadi,
antara lain Serikat Dagang Islam (kelak Partai Syarikat Islam Indonesia),
Indische Partij, Muhammmadiyah, Nahdhatul 'Ulama, Partai Nasional Indonesia,
Perhimpunan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan lain-lain.
Di kalangan orang Belanda ternyata ada perselisihan pendapat tentang
memperlakukan Indonesia di masa depan. Ada suara-suara yang menginginkan
hubungan Belanda dengan wilayah jajahannya terutama Indonesia berubah lebih
manusiawi dibanding sebelumnya. Pendapat tersebut memiliki dasar bahwa Belanda
telah sangat berhutang budi kepada Indonesia, Belanda telah mengambil banyak
dari Indonesia sekaligus nyaris tidak memberi apapun[4].
Berbagai perangkat mengalir dari Belanda ke Indonesia, dan berbagai proyek
untuk membenahi taraf hidup rakyat diwujudkan semisal pembangunan sekolah,
irigasi, telekomunikasi dan sebagainya. Pendidikan kelak menghasilkan lapisan
masyarakat terdidik yang justru kurang diinginkan oleh tatanan kolonial, karena
kelak para intelek tersebut akan membangkitkan kesadaran rakyat jajahan untuk
menuntut hak.
Seiring waktu berjalan, gerakan politik anti kolonial kelak terbagi
berdasar suku, daerah dan agama. Tetapi ada tiga kelompok besar gerakan
tersebut yaitu nasionalis, agamis dan komunis, mereka menjadi campuran dahsyat
sekaligus goyah melawan kolonial. Setelah proses dekolonisasi selesai,
perpecahan antara tiga kelompok tersebut semakin hebat.
Dari kelompok nasionalis sangat dikenal Partai Nasional Indonesia, partai
ini dibentuk tahun 1927 oleh Soekarno (1901-1970), yang kelak presiden pertama
Republik Indonesia (1945-1967). Dari kelompok agamis sangat dikenal Partai
Syarikat Islam Indonesia dengan tokoh kharismatis (walaupun bukan pembentuk)
yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Dari kelompok komunis agaknya cuma ada
satu organisasi yaitu Partai Komunis Indonesia dengan tokoh terkemuka Semaoen,
Alimin dan Muso.
Kebangkitan nasional tidak terlepas dari suasana internasional. Awal abad
ke-20 dunia Timur bangkit melawan keunggulan Barat. Jepang misalnya, dengan
sigap melaksanakan modernisasi yang dikenal dengan Restorasi Meiji sehingga
terhindar dari penjajahan Barat. Pada awal abad ke-20 hasilnya dapat dirasakan,
sekitar 90 persen warga Jepang melek huruf. Jepang pulalah yang mengejutkan
dunia dengan kemenangannya melawan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1904-1905).
Perang tersebut dianggap sebagai konflik besar pertama abad ke-20, Jepang telah
membuktikan bahwa Barat dapat dikalahkan.
Gerakan Wahhabiy di Arabia sejak abad ke-18 masuk ke Indonesia dan sempat
mengobarkan Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera dan pembentukan Muhammadiyah
di Jawa. Faham Wahhabiy memurnikan pemahaman dan pengamalan Islam dari berbagai
faham yang bertentangan semisal tahyul, bid'ah, churafat (kini khurafat) dan
syirik.
Demikian sekilas uraian kebangkitan di luar negeri yang sedikit banyak
mempengaruhi bangsa Indonesia untuk bangkit sebagai bagian kebangkitan besar
Timur. Pelajaran yang dapat diambil dari periode penjajahan adalah kelengahan
akibat prestasi panjang nyaris selama 7000 tahun berakibat kecolongan oleh
Barat. Untuk pertama kalinya, Timur mengalami keterputusan masa jaya sejak awal
abad ke-19. Ketertinggalan itulah yang dicoba untuk dikejar oleh Timur sejak
awal abad ke-20.
Usaha meraih titik temu antara kepentingan nasional Indonesia dengan
kepentingan kolonial Belanda pernah terjadi dengan pembentukan "Gapi"
(Gabungan Politik Indonesia) tahun 1939. Gerakan tersebut mengusulkan kepada
pemerintah Belanda untuk memberi hak membentuk parlemen Indonesia atau tegasnya
pemerintahan Indonesia di dalam lingkungan Kerajaan Belanda, namun rezim kolonial
menolak. Indonesia terlalu berharga untuk diberi hak mengatur diri sendiri
walaupun masih dalam lingkup kerajaan karena tatanan kolonial yang menempatkan
secara tegas Belanda sebagai majikan dan Indonesia sebagai pelayan sangat
menguntungkan Belanda. Belanda justru makin memperketat pengawasan para aktivis
kemerdekaan mengingat dunia di ambang perang besar yang disebut "Perang
Dunia II". Jerman nampak bernafsu menaklukan Eropa (tentu termasuk
Belanda) dan Jepang nampak bernafsu menaklukan Asia (tentu termasuk Indonesia).
KAPITALISME
A. Konsep Dasar Kapitalisme
Secara etimologi kapitalisme berasal dari kata
kapital. Kapital berasal dari bahasa Latin yaitu capitalis yang
sebenarnya diambil dari kata kaput (bahasa Proto-Indo-Eropa) berarti
“kepala”. Arti ini menjadi jelas jika kita gunakan dalam istilah “pendapatan
per kapita” yang berarti pendapatan per kepala. Juga masih memiliki arti yang
sama, ketika dipakai dalam kalimat capital city (kota utama).
Lantas apa hubungannya dengan “capital” yang
sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon, kekayaan penduduk Romawi kuno
diukur dengan seberapa banyak caput (kepala) hewan ternak yang ia
miliki. Semakin banyak kaput-nya, maka ia dianggap semakin
sejahtera. Tidak mengherankan jika kemudian mereka mengumpulkan
sebanyak-banyaknya kaput untuk mengembangkan usaha dan mengejar
kesejahteraan. Maka menjadi jelas, mengapa kita menterjemahkan capital sebagai
“modal”. Lantas, kita tahu bahwa ism mengacu kepada “paham”, “ideologi”
yang maknanya sudah diterangkan di atas.
Secara terminologi, Kapitalisme berarti suatu paham
yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk
meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu pemerintah tidak dapat melakukan
intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan
secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kapitalisme pendidikan terjadi apabila prinsip kapitalisme digunakan di
dalam sektor pendidikan, negara tidak membatasi kepemilikan perorangan di
dalam sektor pendidikan, artinya satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai
oleh perorangan (sektor swasta atau aktor non negara), dimana segala
kebijakannya diatur oleh sektor swasta tersebut. Pengelola sektor pendidikan
(pihak swasta) ini, mulai bersaing antara satu dengan lainnya. Bagi pihak
pengelola pendidikan yang memenangkan persaingan akan mendapatkan pengguna jasa
pendidikan lebih banyak. Modal dari pihak pengelola sektor pendidikan pun akan
masuk dan dapat diakumulasikan. Ketika mengikat maka akan terjadi
monopoli, sehingga penentuan harga (biaya pendidikan) tanpa ada penawaran dan
permintaan terlebih dahulu dengan para pengguna jasa pendidikan. Pengelola
pendidikan pun menawarkan harga (biaya pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan
dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak
pengguna jasa pendidikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menawar
harga (biaya pendidikan). Akhirnya, akan muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa
orang yang kaya lah yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi
pihak pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam
mendapatkan pendidikan tersebut.
Prinsip-prinsip kapitalisme yaitu :
1) Mencari keuntungan dengan berbagai cara dan sarana kecuali yang
terang-terangan dilarang Negara karena merusak masyarakat seperti heroin dan
semacamnya.
2) Mendewakan hak milik pribadi dengan membuka jalan selebar-lebarnya agar
tiap orang mengarahkan kemampuan dan potensi yang ada untuk meningkatkan
kekayaan dan meliharanya serta tidak ada yang menjahatinya. Karena itu
dibuatlah peraturan-peraturan yang cocok untuk meningkatkan dan melancarkan
usaha dan tidak ada campur tangan Negara dlam kehidupan ekonomi kecuali dalam
batas-batas yang sangat diperlukan oleh peraturan umum dalam rangka mengokohkan
keamanan.
3) Perfect competition.
4) Price system sesuai dengan tuntutan permintaan dan kebutuhan bersandar pada peraturan
harga yang diturunkan dalam rangka mengendalikan komoditas dan penjualannya.
Bentuk-bentuk kapitalisme yaitu:
1)
Kapitalisme perdagangan. Muncul pada abad ke-16
setelah dihapusnya system feodal. Dalam Bentuk-bentuk system ini seorang
pengusaha mengangkat hasil produksinya dari satu tempat ke tempat lain sesuai
dengan kebutuhan pasar. Dengan kemudian ia berfungsi sebagai perantara antara
produsen dan konsumen.
2)
Kapitalisme industry. Lahir karena ditopang oleh
kemajuan industry dengan penemuan mesin tenun tahun 1733 dan mesin uap oleh
James Watt tahun 1765. Semua itu telah membangkitkan revolusi industry di
Ingris dan Eropa menjelang abad ke-19. Kapitalisme industry ini tegak di atas
dasar pemisahan antara modal dan buruh, yakni antara manusia dan mesin.
3)
System Kartel yaitu kesepakatan
perusahaan-perusahaan besar dalam membagi pasaran internasional. System ini
member kesempatan untuk memonopoli pasar dan pemasaran seluas-luasnya. Aliran
ini tersebar di Jerman dan Jepang.
4)
System Trust yaitu sebuah system yang membentuk
satu perusahaan dari berbagai perusahaan yang bersaing agar perusahaan tersebut
lebih mampu berproduksi dan lebih kuat untuk mengontrol dan menguasai pasar.
Pemikiran dan keyakinan-keyakinan lainnya Aliran
naturalism yang merupakan dasar kapitalisme ini sebenarnya menyerukan hal-hal
sebagai berikut:
1)
Kehidupan ekonomi yang tunduk kepada system
natur yang bukan buatan manusia. Dengan sifat seperti itu akan mampu mewujudkan
pengembangan hidup dan kemajuan secara simultan.
2)
Tidak ada campur tangan Negara dalam kehidupan
ekonomi dan membatasi tugasnya hanya untuk melindungi pribadi-pribadi dan
kekayaan serta menjaga keamanan dan membela Negara.
3)
Kebebasan ekonomi bagi tiap individu dimana ia
mempunyai hak untuk menekuni dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan. Tentang kebebasan seperti ini diungkapkan dalam sebuah prinsip yang
sangat masyur dengan semboyan “biarkan ia bekerja dan biarkan ia berlalu.”
4)
Kepercayaan kapitalisme terhadap kebebasan yang
tiada batas telah membawa kekacauan keyakinan dan perilaku. Ini melahirkan
berbagai konflik di Barat yang kemudian melanda dunia sebagai akibat dari
kehampaan pemikiran dan kekosongan rohani.
5)
Rendahnya upah dan tunmtutan yang tinggi
mendorong tiap anggota keluarga bekerja. Akibatnya tali kekeluargaan putus dan
sendi-sendi sosial di kalangan mereka runtuh.
B.
Sejarah dan Perkembangan Kapitalisme
Kapitalisme atau
capital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan
usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dimana pemerintah tidak dapat
melakukan intervensi pasar (Wikipedia, bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Menurut Dudley Dillard kapitalisme adalah hubungan-hubungan di antara
pemilik pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah,
tambang, instalasi industry dan sebagainya, yang secara keseluruhan disebut
modal atau capital) dengan para pekerja yang biar pun bebbas namun tak punya
modal yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada para majikan.
System kapitalisme sepenuhnya memihak dan menguntungkan pihak-pihak pribadi
kaum bisnis swasta. Seluruh keputusan yang menyangkut bidang produkasibaik itu
alam dan tenaga kerja dikendalikan oleh pemilik dan diarahkan untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Secara sosiologis paham kapitalisme berawal dari
perjuangan terhadap kaum feodal salah satu tokoh yang terkenal Max Weber dalam
karyanya “The Protestan Etic of Spirrit Capitalism” mengungkapkan bahwa
kemunculan kapitalisme erat sekali dengan semangat religious terutama kaum
protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang mengatakan
bahwa lewat perbuaatan dan karya yang lebih bain manusia dapat
menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh yang mendukung adalah Benjamin
Franklin dengan motonya yang sangat terkenal: “Time is Money’, bahwa
manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.
Bapak kapitalisme yaitu Adam Smith mengemukakan lima teroti dasar dari
kapitalisme yaitu:
1) Pengakuan hak milik pribadi tanpa batas-batas tertantu.
2) Pengakuan hak pribadi untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan
status sosial ekonomi.
3) Pengakuan adanya motivasi ekonomi dalam bentuk semangat meraih keuntungan
semaksimal mungkin.
4) Kebebasan melakukan kompetisi
5) Mengakui hukum ekonomi pasar bebas atau mekanisme pasar.
Pada akhir abad pertengahan (abad 16 – 18),
industry di Inggris sedang terkonsentrasi pada industry sandang. Industry
sandang di Inggris menjadi industry sandang terbesar di Eropa. Meskipun banyak
masalah yang dihadapi akan tetapi industry sandang di Ingris menjadi industry
yang sangat pesat. Industry sandang inilah yang menjadi pelopor lahirnya
kapitalisme di Eropa sebagai suatu system sosial dan ekonomi. Kemudian industry
ini berlanjut pada usaha perkapalan, pergudangan, bahan-bahan mentah,
barang-barang jadi dan variasi bentuk kekayaan yang lain.
Dari beberapa kejadian dan juga factor
lingkungan historis mempengaruhi pembentukan modal di Eropa Barat pada awal
terbentuknya kapitalisme antara lain:
a.
Dukungan agama bagi kerja keras dan sikap hemat
b.
Pengaruh logam-logam mulia dari dunia baru
terhadap perkembangan relative pendapatan atas upah, laba dan sewa.
c.
Peranan Negara dalam membantu dan secara
langsung melakukan pembentukan modal dalam bentuk benda modal aneka guna.
Etika ekonomi yang diajarkan katolisme abad
pertengahan menciptakan banyak hambatan bagi perkembangan kapitalis dan
ideology kapitalis (Dudley Dillar, 1997;17).
Pendapat Adam Smith
yang paling penting ialah tentang ketergantungan peningkatan perekonomian
kemajuan dan kemakmuran kepada kebebasan ekonomi yang tercermin pada kebebasan
individu yang memberikan seseorang bebas memilih pekerjaannya sesuai dengan
kemampuannya yang dapat mewujukan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan
dirinya. Kebebasan pedagang dimana produktivitas peredaran produksi dan
distribusinya berlangsung dalam iklim persaingan bebas.
Kaum kapitalis memandang kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu
untuk menciptakan keserasian antara dirinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu
adalah suatu kekuatan pendorong bagi produksi karena ini benar-benar menjadi
hak manusia yang menggambarkan kehormatan kemanusiaan.
C. Kapitalisme di
Indonesia
Sejak Orde Lama sampai dengan Era Reformasi, perjalanan kekuatan
bisnis kapitalis Indonesia, baik pribumi maupun pengusaha keturunan Tionghoa,
identik dengan dukungan elit eksekutif. Oleh karena itu apabila kita membahas
perjalanan kapitalisme di Indonesia dari satu rezim ke rezim lainnya, maka
tidak akan pernah lepas dari sistem politik dan sistem ekonomi yang dianut
rezim yang sedang berkuasa.
Sejarah kebangkitan kapitalisme dan industrialisasi di Indonesia
terjadi pada tahun 1966, ketika Orde Baru mulai menjalankan kekuasaannya. Tahun
1966 merupakan tonggak sejarah penting bagi bangsa Indonesia, bukan saja dalam
konteks politik tetapi juga dalam konteks ekonomi. Gaya kepemimpinan otoriter
Presiden Soeharto yang didukung oleh pejabat militer dan teknokrat, yang lebih
mengedepankan pertumbuhan ekonomi, membawa konsekuensi kepada
kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang cenderung memihak kepada
kepentingan pemilik modal, baik investor domestik yang didominasi oleh
pengusaha etnik Tionghoa, maupun investor asing yang berasal dari negara-negara
maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat.
Selanjutnya kapitalisme menyentuh berbagai bidang
kehidupan Indonesia antara lain :
a.
Kapitalisme Pendidikan
Kapitalisme kini telah menyentuh wilayah pendidikan
nasional. Munculnya dikotomi Sekolah Berstandar Internasiaonal (SBI) dan
sekolah biasa merupakan pengejawantahan semangat kapitalis dalam dunia
pendidikan. Tidak dipungkiri, akan muncul kelas-kelas sosial sebagai bias
‘penerapan’ ide kapitalis dalam dunia pendidikan. Kelas sosial karena system
pendidikan yang berbasis modal dan menyampingkan kecerdasan.
Contoh sederhana, jika dikota anda ada sekolah
ber-SBI atau minimal masih Rintisan Standar Internasiona (RSBI) yang
bersebelahan dengan sekolah biasa, anda pasti menyaksikan fenomena
memprihatinkan. Betapa kesenjangan sosial kelihatan sangat nyata dan menjadi
pemandangan lumrah. Halaman parkir sekolah ber-SBI dipastikan penuh dengan
mobil dan seluruh siswa masuk sekolah menenteng laptop. Sebaliknya di sekolah
biasa, para siswa diantar dengan sepeda motor, naik angkutan kota, bahkan jalan
kaki. Jarang sekali yang menenteng laptop atau membawa ponsel pun seharga
ratusan ribu. Kesenjangan kenyataan ini merupakan pengejawantahan gagasan
kapitalisme dalam dunia pendidikan.
Perbedaan menyolok performance siswa dan
pengajar antara sekolah berstandar internasional dan sekolah biasa
mengindikasikan munculnya kelas sosial dalam masyarakat pendidikan. Sebuah
kelas sosial sebagai akibat system pendidikan yang berbasis modal dan
meletakkan kemampuan atau kecerdasan adalah efek dari kekuatan modal.
Dalam system pendidikan nasional, kecerdasan
bisa dicapai apabila ditunjang oleh fasilitas lengkap (berteknologi tinggi).
Dengan teknologi yang memadai, maka proses belajar akan berlangsung dengan
baik. Logika seperti inilah yang menjadi landasan kegiatan belajat mengajar
dalam system pendidikan kita. Lantas bagaimana dengan siswa yang tidak mamapu
‘membeli’ segala fasilitas mahal tersebut.
Semestinya konsep SBI dan Non SBI ditinjau
ulang. Sesuai amanat UUD 1945 bahwa setiap warga Negara berhak mendapat
pengajaran. Pemerataan pendidikan harus dirasakan oleh seluru masyarakat
Indonesia. Kenyataanya dalam sisitem pendidikan kita mereka yang memiliki modal
akan menikmati fasilitas pendidikan yang mewah. Sedangkan yang kurang beruntung
hanya bisa menikmati sekolah biasa dengan fasilitas seperti seadanya.
b.
Kapitalisme Dalam Lembaga
Keuangan Perbankan
Kebaikan system kapitalis bagi Indonesia adalah
memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan suntikan dana investasi dari Negara
kapitalis. Investasi ini sangat menguntungkan karena kita secara financial
tidak dirugikan oleh investasi para kapitalis ini, jadi mereka memberikan uang
(investasi) untuk dikelola oleh kita. Kalo ternyata kita bisa menggunakan uang
tersebut dengan baik dan memperoleh laba, kita bagi-bagi uang labanya dengan si
kapitalis tersebut (bagi hasil).
Kalau ternyata kita merugi, artinya uang investasi habis tapi tidak mendapatkan
laba, maka si kapitalis akan menarik uangnya yang tersisa. Jadi sebenernya
dengan adanya kapitalis itu menanamkan investasi di Indonesia, kita punya
kesempatan gratis untuk membangun bisnis tanpa resiko. Hanya saja biasanya
kalau perusahaan bangkrut dan investasi ditarik lagi, maka para pegawai
perusahaan itu akan di PHK dan inilah yang biasanya di ekspos, seolah-olah ada
orang Indonesia yang menderita karena system ekonomi yang kapitalis.
IMPERIALISME
Perkataan
imperialisme berasal dari kata Latin "imperare"
yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang
diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator".
Yang lazimnya diberi imperium
itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran
seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu
memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja inilah
yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah
dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat
arti-kata yang kita kenal sekarang ini. hingga kata imperealisme ini bisa
digunakan untuk dan menetap dimana saja.
Imperialisme kuno suatu bentuk perluasan
jajahan yang memiliki berbagai tujuan. Yang kita ketahui penyebaran agama,
mendapatkan kekayaan, dan memperoleh kejayaan (Gold, Glory, Gospel). Sedangkan
Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an
yang mengakibatkan industri besar-besaran. Hal yang menjadi faktor pendorongnya
adalah adanya kelebihan modal dan barang di negara-negara Barat. Selepas tahun
1870-an, Negara-negara Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah
Asia, Amerika dan Afrika. Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah
penyuplai bahan baku dan juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.
Dari tujuan Imperialis yang seperti itu akan
lahir paham berikutnya yaitu Fasisme dan Sosialisme. Fasisme yang merupakan
pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totaliter oleh kediktatoran
partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis.
FASISME
A. Konsep Dasar Fasisme
Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut
tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga
otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat
tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada
zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan
simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.
Kemunculan fasisme sebagai reaksi terhadap liberalisme dan positivise yang
terlihat dari kecenderungannya yang anti intelektualisme dan dikmatisme.
Fasisme merupakan mansifestasi dari kekecewaan terhadap kebebasan individual
dan kebebasan berfikir.
Akar-akar filsafat fasisme bisa dilacak dalam pemikiran-pemikiran Plato,
Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin,
Zietzche, Marinetti, OswaldSpengler, Chamberlain. Fasisme memiliki akar-akar
intelektual dan filosofis ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuk
yang modern dan kontemporer dan dalam formatnya yang par exellence terjadi ketika Benito Mussolini menguasasi Italia
(1922) Hitler dengan Nazinya mendominasi jerman (1933) Franco berkuasa di
Spanyol (1936) TennoHeika memerintah jepang (1930-an) dan Amerika Latin dimasa
kekuasan Juan Peron (1950-an). Suhelmi (2004:334)
Ajaran-ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan
Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang
kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat
moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang
bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak
boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka
“tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama,
justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi
fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai
melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan
yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep perramaan
tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan
menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam
pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”.
Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang
harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi
pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk
mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa
“kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak
pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus
dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat.
Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam
meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami
kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder
(anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum
fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum
penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti
pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara
kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan
kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat
bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya.
Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih
unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan
demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisime
memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus
internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan
cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut.
Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi
peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan
ketertiban internasional.
B.
Sejarah kemunculan dan perkembangnnya
Fasisme (fascism) merupakan
pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totoaliter, oleh kediktatoran
partai tunggal yang sangat nasionalis rasialis, militeristis, dan imperialis.
Italia merupakan negara pertama yang menjadi Fasis (1922) menyusul jerman tahun
1933 dan kemudian Spanyol melalui perang saudara yang pecah tahun 1936. Di Asia
Jepang berubah menjadi fasis dalam tahun 1930-an melalui perubahan secara
perlahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya
aslinya.
Fasis muncul dan berkembang di negara-negara yang relatif lebih makmur dan
secara teknologi lebih maju. Fasis merupakan produk dari masyarakat-masyarakat
prademokrasi dan pasca industri. Kaum fasis tidak mungkin merebut kekuasaan
dinegara-negara yang tidak memiliki pengalaman demokrasi sama sekali.
Pengalaman negara demokrasi yang dirasakan semu oleh masyarakat bahkan
mengalami kegagalan dengan indikator adanya proses sentralisasi kekuasaan pada
segelintir elit penguasa, terbentunya monopoli dan oligopoli dibidang ekonomi,
besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan kelas bawah seperti buruh, petani
atau kelas menengah atas sepserti kaum cendikiawan, kaum industialis, maupun
pemilik modal, ini adalah lahan yang subur bai gerakan fasis untuk melancarkan
propagandanya
Semakin keras dan teoritis gerakan-gerakan fasis semakin besar pula
dukungan rakyat yang diperolehnya. Fasis di Jerman merupakan gerakan politik
yang paling berutal tetapi sekaligus paling populer. Kondisi penting lainnya
untuk pertumbuhan fasisme adalah pencapaian tingkat atau tahap tertentu dalam
perkembangan industri. Dalam setiap perkembangan industri akan muncul
ketegangan-ketegangan sosial dan ekonomi. Negara fasis mengingkari adanya
kepentingan yang berbeda dalam masyarakat. Kalupun mereka dengan setengah hati
mengakui adanya keragaman kepentingan dalam masyarakat, maka negara fasis itu
akan mengatasi atau menghilangakan perbedaan itu dengan kekerasan.
Dalam masyarakat industri fasis menarik minat pada dua kelompok masyarakat
secara khusus, pertama sistem itu menarik sekelompok kecil Industriawan dan
tuan tunah yang bersedia membiayai gerakan fasis dengan harapan sistem itu
dapat melenyapkan serikat-serikat buruh bebas, kedua menarik kelas menengah
bawah terutama dikalangan pegawai negeri. Golongan ini lebih merasa aman
dibanding bekerjasama dengan kaum proletar.
Kelompok sosial lain yang sangat rentan terhadap propaganda fasis adalah
kelompok militer. Baik yang terjadi di Jerman, Jepang, pernan militer dalam
pergerakan fasisme sangat dominan, demikianpun halnya dengan Italia. Di
Argentina pemerintah yang semi konstitusional di singkirkan melalui suatu
pemberontakan yang dilakukan oleh Perwira muda dibawah pimpinan Peron, yang
memulai fasisme dengan gayanya sendiri dan dari namanya sendiri yaitu Peronismo.
Perkembangan selanjutnya, fasisme terbagi menjadai dua:
Pertama, fasisme yang berkembang dinegara Itali di bawah pimpinan Benito
Mussolini, dan kedua fasisme yang berkembang di Jerman di bawah pimpinan Adolf
Hitler yang dikenal dengan nazisme, yakni singkatan dari Nasional- Zosialisme.
Bagi kedua aliran ini, negara adalah suatu organisme yang sesungguhnya.
Sedangkan individu-individu hanyalah sebagai suatu yang harus tunduk kepada
negara dalam segala hal. Jelasnya keduanya dipandang sebagai pemerintahan yang
totaliter atau otoriter.
a)
Fasisme Italia
Perkembangan fasisme di Italia pertama kali harus dilihat dari sejarah
politik bangsa ini. Pada awal perang dunia I Italia merupakan negara netral,
akan tetapi satu tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1915 Italia mengumumkan
perang terhadap Austria. Peperangan ini dilatarbelakangi perebutan daerah Tirol
Selatan Istria, Dalmatia dari Austria yang diklaim Italia sebagai
daerah Italia Irredent . Sebelumnya Italia telah melakukan
perjanjian untuk membentuk aliansi antara Italia, Perancis dan Austria
yang dikenal dengan sebutan Triple
Alliantie pada tahun 1882. Tetapi setelah terjadi konflik dengan Austria
perjanjian itu mulai tidak konsisten dan sewaktu-waktu dapat keluar dari Triple Alliantie . (I Gamidi,1957:120).
Setelah daerah Tirol Selatan dan wilayah Istria berhasil direbut oleh
Italia dari Austria, pihak Italia belum puas dengan hasil yang diperoleh dan
berambisi besar untuk mengembalikan kejayaan Imperium Romawi Kuno dimasa lampau. Ambisi yang besar itupun didukung oleh rakyat Italia,
sehingga ketika perang dunia I berakhir, ambisi itu masih mengakar pada jiwa
rakyat Italia yang ingin mengembalikan kejayaan Romawi. Setelah berakhirnya
perang dunia I terjadi kekacauan disegala bidang, mulai dari bidang ekonomi,
politik dan sosial hingga munculnya perasaan dikalangan masyarakat Italia
akan kehancuran bangsanya itu. Akhirnya pemerintah tidak mendapatkan
kepercayaan dari rakyatnya karena tidak berhasil memperjuangkan kehendak orang
banyak. Disamping itu, keterlibatan Italia dalam perang dunia I
mengakibatkan negara mengalami krisis, mulai dari kekurangan bahan makanan,
bahan mentah mengalami kenaikan harga, anggaran belanja pemerintah mengalami
defisit sampai adanya ancaman inflasi. Rakyat Italia akhirnya meluapkan
kemarahan terhadap pemerintah dengan melakukan sejumlah demonstrasi dan
perusakan. Para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik melakukan tindakan
pemberontakan dan mengeluarkan pemiliknya dari pabrik. Sehingga pemogokan kerja
terjadi di mana-mana sehingga melumpuhkan industri dan pusat pemerintahan yang
vital. Selain aksi perusakan yang dilakukan kaum buruh, perusakan juga
dilakukan oleh petani. Para petani melakukan perampasan terhadap pemilik tanah
dan membakar rumah serta menghancurkan hasil panen. Akibat kekacauan serta
terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan tidak berhasil diatas
mengakibatkan kemunduran dibidang pendidikan, banyak kaum muda terpelajar
tewas selama perang dunia I berlangsung. Hal ini mengakibatkan kekurangan
tenaga pengajar sekolah-sekolah di Italia. Kekacauan-kekacauan yang berlangsung
di Italia pasca perang dunia I mengakibatkan mudahnya paham fasisme masuk,
tetapi sebelum berkembangnya paham fasisme di Italia, masyarakat Italia sudah
dihantui akan paham-paham komunis. Tahun-tahun sesudah 1918 semakin
mengindikasikan bahwa demokrasi di Italia akan diakhiri oleh komunisme dari
pada fasisme. Ditambah lagi terjadi peristiwa-peristiwa luar biasa yang
terjadi di Rusia yaitu Revolusi Rusia. Revolusi Rusia mengubah tatanan sosial
baru yang dipelopori oleh Bolsheviks Lenin yaitu komunisme. Dalam keadaan ini,
tampak bahwa bukan tidak mungkin paham komunisme ini akan menyebar ke kawasan
Eropa Barat, hal ini telah terjadi pada tahun 1920, dimana komunis telah menduduki
pabrik-pabrik di Turin dan Milan (Hugh Purcell, 2004:27).
Ketidakcakapan Raja Victor Emanuel III dalam memimpin, menyebabkan
rakyat kurang percaya lagi kepada rajanya. Hal ini dimanfaatkan oleh Benito Mussolini melalui gerakan Ultra Nasionalis yang
mendapat dukungan besar dari rakyat Italia. Pada tahun 1922 itu Partai Fasis
yang dipimpin oleh Benito Mussolini dan beranggotakan 50 ribu orang mengadakan
long march ke Roma dengan tujuan menuntut Perdana Menteri Italia untuk
mengundurkan diri. Upaya inipun berhasil, dimana pada tahun 1922 Benito
Mussolini menuntut Raja Victor Emanuel III turun dari jabatannya sebagai raja.
Cita-cita rakyat untuk mengadakan perubahan dalam struktur pemerintahan
akhirnya berhasil. Pemerintahan Italia berada ditangan Mussolini, karena
sebelum Mussolini berkuasa rakyat Italia sudah mengenal baik Mussolini yang
dikenal tegar dan berwibawa, sehingga dalam merebut kekuasaan dari Raja Victor
Emanuel III Mussolini mendapat dukungan dari rakyatnya yang mengharap
perubahan. Akhirnya Mussolini menguasai Italia dengan semangat fasisme dan
kepemimpinannya bersifat otoriter. Mussollini dalam menjalankan ideologi
fasisme mendapat dukungan dari negara sekutunya yang sama-sama berideologi
fasis yaitu Jerman.
b)
Fasisme Jerman
Setelah Jerman mengalami kekalahan pada perang dunia I dari blok Barat
(sekutu), Jerman mendapatkan sanksi karena Jerman di nilai menjadi blok sentral
dalam perang dunia I. Sanksi yang diberikan blok sekutu atas Jerman berupa
membayar segala kerugian yang terjadi pada perang dunia I kepada negara-negara
yang menang perang yaitu blok sekutu. Hal ini ternyata tidak didukung oleh
keuangan Jerman dimana ketika perang dunia I berlangsung banyak anggaran negara
Jerman jebol untuk membiayai amunisi selama perang berlangsung, ditambah
lagi perekonomian Jerman yang lagi terpuruk akibat imbas dari perang dunia I.
penderitaan Jerman pasca perang dunia I ternyata tidak jauh berbeda dengan yang
dialami Italia, pengangguran dan angka kriminalitas meningkat tajam sehingga
memperparah keadaan. Hal ini tidak kelak menimbulkan kemarahan dan rasa
benci memiliki keinginan untuk balas dendam dalam jiwa bangsa Jerman
kepada negara-negara yang tergabung dalam blok sekutu.
Keterpurukan Jerman mulai bangkit ketika Adolf Hitler dinobatkan menjadi
pemimpin Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jerman (Nationalsozialistische
Deutsche Arbeiter Partei) atau yang lebih dikenal dengan nama NSDAP atau
Nazi. Partai Nazi mengembakan paham yang didalamnya mengajarkan semangat chauvinisme dan sangat mengagungkan
bangsa Jerman sebagai bangsa keturunan dari ras Arya yang dikenal agung dan
mulia, berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya yang dianggap sebagai keturunan
bangsa-bangsa primitif. Setelah Hitler menguasai Jerman, langkah Hitler yang
pertama adalah memperbaiki kondisi ekonomi Jerman yang mengalami keterpurukan.
Dan setelah itu, langkah yang dianggap berani ketika Hitler mengampanyekan
penolakan terhadap isi perjanjian Versailles karena dianggap sebagai penindasan
dan perampokan paksa atas lepasnya beberapa wilayah kekuasaan Jerman di Eropa
dan Afrika. Dalam isi perjanjian Versailles disebutkan bahwa Jerman menerima
tanggungjawab penuh sebagai penyebab peperangan dan harus melakukan
perbaikan-perbaikan pada negara-negara tertentu yang tergabung dalam blok
sekutu.
Selain itu, aturan lain dalam perjanjian itu adalah penyerahan sebagian
wilayah Jerman kepada beberapa negara tetangganya, pelepasan koloni seberang
lautan dan Afrika milik Jerman, serta pembatasan pasukan militer Jerman yang
diharapkan dapat menghambat Jerman untuk kembali memulai perang. Sejumlah
protes terhadap perjanjian tersebut terjadi dimana-mana di Negara Jerman,
karena dalam merumuskan perjanjian itu, Jerman tidak diikutsertakan dan
selanjutnya menarik diri dari perundingan. Tetapi belakangan Menteri Luar
Negeri Jerman Hermann Müller setuju untuk menandatangai perjanjian pada 28 Juni 1919. Dan kemudian
diratifikasi oleh Liga Bangsa Bangsa (LBB) pada tanggal 10 Januari 1920.
Akibat isi dari perjanjian itu, dan semangat Hitler untuk melakukan penghapusan
perjanjian mendapatkan dukungan dari rakyat Jerman. Ambisi Hitler untuk
membangun kembali kebesaran bangsa Jerman dan ingin menjadikan Jerman sebagai
Lord of The Earth (Raja dimuka Bumi) mendapat jalan yang mudah dimana
pada tahun 1934 Partai Nazi menjadi partai yang besar dan yang berkuasa di
Jerman hingga Hitler diangkat menjadi Perdana Menteri. Hitler pun merangkap
jabatan sebagai Presiden pada tahun 1934 dikarenakan Presiden Jerman pada
saat itu Paul von
Hindenburg meninggal
dunia. Ketika Hitler berkuasa dan kemudian memimpin Jerman dengan dictator yang
bersifat absolut dan totaliterisme.Setelah Hitler berkuasa dan memperoleh
legitimasi dari rakyat Jerman kemudian Hitler dan partainya Nazi yang menganut
paham fasis dengan menitik beratkan pada keunggulan ras murni bangsa Jerman dan
menyingkirkan kaum yang mereka sebut
sebagai Lebensunwertes Leben, kelompok
seksi-seksi Yehuwa, orang-orang cacat mental atau fisik dan komunis. Atas dasar
isi perjanjian yang telah disebutkan dimuka, maka Hitler memulai untuk
memperkuat persenjataan militer dan melakukan pelatihan-pelatihan militer untuk
melakukan ekspansi ke negara-negara Eropa. Tidak cukup sampai disitu, Hitler
pun mendorong pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan perang seperti senjata,
amunisi, tank dan lan-lain untuk lebih banyak lagi memproduksi hingga
menerapkan sistem lembur bagi para buruh di pabrik tersebut. Pemulihan
ekonomi pasca mengalami keterpurukan berhasil diatasi ketika Hitler
berkuasa. Pemerintahan Hitler berhasil menghapus pengangguran di Jerman
dengan menciptakan berbagai proyek yang menyerap banyak tenaga kerja seperti
proyek pembangunan authobahn dan proyek persenjataan militer Jerman. Selain
itu, Hitler juga menambah anggaran militer Jerman yang sangat besar pada awal
tahun pemerintahannya, anggaran yang begitu besar sampai tidak habis dipakai.
Dengan anggaran yang besar itu, pasukan tentara Jerman menjadi sangat kuat
khususnya altireli tank-tanknya. Setelah pasukan militer Jerman yang sangat
kuat, ambisi Hitler untuk merebut kembali kekuasaan Jerman yang pernah lepas
akibat perjanjian Versailles menjadi terbuka lebar, karena Hitler didukung oleh
rakyat Jerman yang ingin mengembalikan kekuasaan Jerman. Hal ini juga didukung
dengan doktrin bahwa bangsa Jerman merupakan bangsa yang paling unggul dan
bersal dari keturunan bangsa Arya yang dianggap bangsa yang mulia dan
diangungkan. Doktrin inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar ideologi
fasis di Jerman. Langkah awal Hitler seperti yang telah disebutkan diatas yaitu
ingin mengembalikan wilayah kekuasaan Jerman yaitu dengan merebut kembali
wilayah Rhineland dan kemudian pada tanggal 15 Maret 1938 Hitler berhasil
merebut tanah kelahirannya yaitu Austria.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini.
Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan
dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan
fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi
bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya
nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih
rendah.
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang subur pada abad
ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I,
dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga
di negara-negara seperti Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat
menderita oleh cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan
tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan.
Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam itu di mana
kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan kekerasan menjadi hukum
mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi
fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi,
pemerintahan fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari
pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem
militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada
akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu
malapetaka terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta
orang.
Ebenstein (2006:154)
mengatakan fasis mungkin tidak lagi merupakan sebagai ancaman bagi
negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang terkemuka. Tetapi tidak
menutup kemungkinan gejala-gejala untuk megambil oper pemerintah jika
dilihat-gejala-gejala masih ada.
Gejala-gejala ini bisa
dilihat adanya gerakan-gerakan yang terjadi misalnya di Amerika serikat yang
anti-intelektual yang melemahkan proses-proses rasionalitas. Gejala lain adalah
munculnya gejala rasialisme dibebarapa negara, gejala lain adalah bermunculan
keresahan-keresahan sosial di tengah masyarakat yang muncul akibat ketidak
berhasilan sistem demokrasi, yang juga anti komunis. Alternatif praktis
bukanlah diantara 100 persen baik dan 100 persen jahat, tetapi selalu diantara
campuran-campuran kedua keadan itu dengan porsi yang berbeda.
C. Pengaruh Fasisme terhadap
Indonesia
Fasisme merupakan paham yang membahayakan dan merusak bangsa Indonesia.
Paham ini berawal dari Itali, Jerman, dan Jepang yang disinyalir telah masuk ke
Indonesia. Sutan Sjahir mengkritik bahwa fasisme ini telah ada di Indonesia.
Kritikannya ini berangkat dari pengamatan dan ketajaman analisisnya mengenai
perkembangan di dalam negeri dan dunia, yang diakibatkan oleh kolonisasi
otoriter Belanda dan fasistis Jepang. Sutan sjhrir melihat bahwa para pemuda
khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya telah terjangkit paham fasisme.
Bahkan lebih jauh sutan mengatakan bahwa sifat fasisme menurut pandangannya
sudah mempunyai akar dalam feodalisme pribumi, ditambah pengalaman kolonialisme
otoriter Belanda dan fasisme militer Jepang. Fasisme menolak nilai-nilai
demikrasi dan mempertahankan kapitalisme sebagai sistem ekonomi. Menurut paham
fasisme, manusia pada hakikatnya tidak sama dan harus dipaksa untuk mengaku
ketidaksamaannya.
Pengertian ini berangkat dari analisisnya mengenai konstelasi politik
internasional terutama di Eropa Barat terhadap kekuatan reaksioner, yag mana
menurut Sjahrir bahwa paham yang ada dalam masyarakat akan mengalami
perkembangan menjadi gerakan yang akan terus melawan kekuatan demokrasi, yang
mana juga seluruh kekuatannya. Fasis tersebut bekerja melawan kemajuan dan
kebebasan manusia universal.
SOSIALISME – KOMUNISME
Sosialisme (sosialism)
secara etimologi berasal dari bahasa Perancis sosial yang berarti
kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar
1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak
mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat
produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh
orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba
tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada
empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2)
komunisme,(3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme
ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam
lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu sejak terbit bukunya
Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang
sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
Dalam membahas sosialisme tidak
dapat terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan yang
mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx,
Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai
istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang
sama. Hal ini dilakuakn sebab Marx ingin membedakan teorinya yang disebut
“sosialisme ilmiah” dari “ sosialisme utopia” untuk menghindari kekaburan istilah
dua sosialisme dan juga karena latarbelakang sejarahnya. Marx memakai istilah
“komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak lebih bersifat revolusioner.
Dengan demikian dapat dikemukakan,
sosialisme sebagai idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang
dianggap benar mengenai tatanan politik yang mencita-citakan terwujudnya
kesejahteraan masyarakat secara merata melalui jalan evolusi, persuasi,
konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan.
Komunisme atau communitas (latin) yang
berarti kemasyarakatan adalah suatu bentuk sistem masyarakat di mana
sarana-sarana produksi dimiliki secara bersama. Pembagian hasil produksi
dilakukan sesuai kebutuhan seseorang. Sebagai ideologi, komunisme muncul ketika
revolusi Perancis, kemudian dengan ajaran Kart Marx membawa pengaruh yang
sangat besar sehingga disamakan dengan komunisme. Marx banyak menerima pokok
ajaran dari Feuerbach tanpa analisis yang menyeluruh hingga dalam
perkembangannya istilah komunisme kemudian dimonopoli oleh partai/golongan
komunis.
Perbedaaan sosialisme dgn komunisme (Marx) :
Sosialisme merupakan sebuah masyarakat yang langsung timbul dari
kapitalisme sebagai bentuk pertama dari masyarakat baru dan dalam kerjanya
tidak menerima bantuan dari kapitalisme, termasuk hal yang bersifat sosial.
Sedangkan komunisme adalah masyarakat yang lebih tinggi, di mana hanya dapat
berkembang jika sosialisme mempunyai kedudukan yang kuat. Apabila dalam
masyarakat sosialis penghisapan manusia atas manusia lainnya sudah berakhir,
alat-alat produksi dimiliki sepenuhnya oleh kaum buruh, serta setiap manusia
memberi menurut kemampuaannya dan menerima sesuai dengan bobot pekerjaannya
sebagi wujud usahanya untuk menwujudkan masyarakat tanpa kelas; tidak ada kelas
yang menghisap dan dihisap. Sedangkan pada masyarakat komunis, setia manusia
memberi menurut kemampuannya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya .
Prinsip Dasar Sosialisme.
Walaupun banyak terdapat aliran atau pengertian sosialisme, tetapi
ada sejumlah prinsip dasar dari sosialisme itu sendiri, yaitu :
1.
Semua bentuk Marxisme dapat
diketegorikan sosialisme, tetapi tidak sebaliknya.
2.
Meskipun tidak mudah merumuskan
dengan persis apa itu sosialisme, paling tidak ada dua hal yang mempersatukan
segala macam aliran revolusioner, egalitarian, anarkis, utopis, reformis,
teknokrat, religius, dan sebagainya itu yang dinamakan dirinya sosialis.
3.
Keyakinan etis bahwa perekonomian
harus diarahkan pada kesejahteraan segenap orang, bukan untuk keuntungan
segelintir orang.
4.
Sumber ketidakadilan sosial adalah
hak milik pribadi (atas alat-alat produksi).
5.
Sosialisme adalah cita-cita etis
tentang masyarakat yang solider dan tuntutan penghapusan hak milik pribadi.
Sosialisme Karl Marx.
Cita-cita kolektivitas, kepemilikan bersama, atau apa yang dikenal
saat ini dengan nama sosialisme kurang lebih di abad ke-5 SM sebenarnya sudah
ada sebagaimana dideskripsikan oleh Jambulos, yakni adanya sebuah "negeri
matahari" di mana disana segala-galanya dimiliki bersama, tak terkecuali
para istri. Secara historis, pelbagai aliran sosialis sering dikaitkan ke era
sebelum Karl Marx (18181883), bahkan kepada filosof yunani kuno, Plato
(427-347).
Jauh sebelum Marx mengembangkan dan menjadikan sebagai cita-cita
perjuangan menuju revolusi proletariat. Tokoh yang dapat dianggap pioneer dari
cita-cita sosialisme secara sistematis dapat dirujukkan kepada Francois-Noel
Babeuf (1760-1797). Kemudian Saint Simon (1760), Auguste Blanqui (1805-1881),
Weitling (1808-1871) Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), Louis Blane
(1811-1882), Moses Hess (1812-1875).
Dalam Sosialisme Karl Marx, paling tidak ada 3 (tiga) pemikiran
yang mempengaruhi Karl Marx, yaitu ajaran Hegel, filsafat materialisme
Feuerbach, dan teori revolusioner Perancis (terutama gagasan-gagasan para
sosialisme utopis)
Ajaran G.W.F Hegel (1770-1831) : Metode untuk mendekati, memahami,
dan mempelajari gejala alam, Marx mengambil dari materialisme, dialektika
Hegel. Materialisme dialeketika Hegel menjadi inspirasi materialisme dialektika
Marx yang dikembangkan menjadi materialisme historis sebagai puncak prestasi
ilmiahnya. Bagi Hegel, alam adalah proses mengelar pikiran-pikiran yang
menimbulkan proses alam, sejarah manusia, organisme, dan kelembagaan
masyarakat. Materi baginya kurang rill dibandingkan jiwa. Pikiran atau jiwa
menurut Hegel esensi alam. Marx menolak idealisme Hegel tersebut dengan
membalikkan filsafatnya dan mengatakan materi pokok dari alam, bukan jiwa atau
pikiran. Pada organisasi ekonomi masyarakat misalnya, disini jelas menurut Marx
bahwa cara-cara produksi (materi) menentukan kelembagaan politik dan sosial
yang ada.
Dalam dialektika Hegel, dunia berada pada sebuah proses
perkembangan atau perubahan yang bersifat dialektika. Perubahan-perubahan
tersebut berlangsung melalui tahap afirmasi (tesis), pengingkaran (anti tesis),
dan akhirnya sampai pada tahap integrasi (sintesis). Marx kemudian menggagas
materialis dialektikanya berdasarkan materi dari materialisme dialektika Hegel.
Jika bagi Hegel dan kaum idealis pada umumnya alam merupakan buah hasil dari
roh, sedangkan bagi Marx dan Engels semua yang bersifat rohani merupakan hasil
dari materi Bagi Marx, kekuatan material (modal) menentukan dalam masyarakat,
termasuk perkembangan evolusi serta fenomena lain, onorganik, organic atau
manusia; kebiasaan dan tradisi politik, sosial dan agama. Yang menentukan
sejarah menurut Marx adalah produksi dan kelahiran manusia. Keterpesonaan
terhadap filsafat Hegel, Marx kemudian mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang mengerakkan bagaimana membebaskan manusia dari
penindasan sistem politik reaksioner.
Secara filosofis, rakitan dari materialisme dialektika Hegel
tersebut ditemukan persepsi yang sama pada literatur kaum Marxist, yaitu ada
tiga dalil (1) dalil perubahan pada kuantitas dapat menimbulkan perubahan
kualitas, (2) dalil kesatuan dan pertentangan dari lawannya, atau hukum
kontradiksi yang lazim disebut dengan hukum "interpenetration of
opposities", kelanjutan bagian dari dalil pertama sebelumnya, dan (3)
pengingkaran terhadap pengingkaran (the law of the negation of negation).
Ludwig Feuerbach : Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenatan dengan
filsafat klasik Jerman, yaitu materialisme Ludwig Feuerbach. Menurut Feuerbach,
manusia merupakan sesuatu yang abstrak. Adapun gagasan menurut Feuerbach adalah
"renungan" dari "kenyataan material" yang menentukan kegiatan
manusia.
Menurut Marx, dengan memposisikan manusia sebagai yang abstrak,
Feuerbach tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh tetapi juga gagal
melihat bahwa hal itu sendiri merupakan produk sosial. Filsafat Feuerbach
berhenti pada menempatkan gagasan sebagai renungan dari kenyataan material,
padahal antara kesadaran dan praksis manusia terdapat suatu hubungan timbal
batik. Ketika Feuerbach memperlakukan "kenyataan materil" sebagai
yang menentukan kegiatan manusia, Feurbach menurut Marx tidak melakukan
analisis modifikasi dunia "obyektif dan subyektif yaitu terhadap kegiatan
manusia.
Revolusi Perancis : Kendatipun Marx banyak mengkritik materialisme Feuerbach, namun
dipertahankannya (juga Engels) dan dijadikan teori filsafatnya. Ketika
menjelaskan hal-hal yang rohani dari jasmani serta mencurahkan segala perhatian
kepada pembebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri, antara Marx dengan
Feuerbach tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi Marx tidak hanya sampai di
situ, ia kemudian melacak asal keterasingan tersebut hingga menemukannya
setelah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris, yaitu berlangsung dalam
proses pekerjaan manusia
Menurut Marx, masyarakat sosialis akan segera terwujud dalam
masyarakat yang menganut sistem Kapitalisme. Sejak abad ke-19, ideologi
kapitalismeliberalisme sebenarnya telah popular sebagaimana pertama tumbuh dan
berkembang di Amerika dan hampir di semua negara Eropa Barat.
Kapitalisme sendiri memiliki karakteristik antara lain pekerjaan yang
seharusnya sebagai wujud perealisasian diri menjadi de-realisasi diri, manusia
tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaannya, sehingga
"kehilangan dirinya sendiri", dan manusia berada di bawah kekuasaan
kekuatan obyektif asing (kekuasaan, sosial, dan politik)
Oleh karena itu, menurut Marx, manusia hanya dapat dibebaskan dari
jerat kapitalisme, bila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus
melalui revolusi kaum buruh. Inilah yang merupakan substansi dari sosialisme
klasik.
Dalam sosialisme klasik ini, Karl Marx mengemukakan bahwa untuk
mencapai masyarakat komunis tanpa klas, dapat dicapai melalui 5 (lima) tahap
dalam Sistem Produksi, yaitu :
1.
Sistem komunisme primitive sebagai
tingkatan ekonomi awal yang bercirikan, kepemilikan secara kolektif. Pada tahap
ini teknologi belum ada dan masyarakat hidup damai.
2.
Sistem produksi kuno yang didasarkan
atas perbudakan serta bercirikan telah lahirnya
hak milik pribadi. Disinilah sistem pertanian dan pengembalaan menggantikan
perburuan sebagai sarana hidup. Akibatnya, ketika kelompok minoritas mengusasi
sarana hidup, maka pertarungan kepentinganpun mulai timbul.
3.
Tahap dimana kelompok-kelompok
feodal sudah menguasai penduduk. Seluruh kelebihan hasil yang dimiliki penduduk
dikuasai oleh para feudal. Masyarakat hanya dapat hidup secara sangat
sederhana.
4.
Lahir sistem borjuis/kapitalis
dengan ciri meningkatnya perdagangan, produksi, dan pembagian kerja. Sistem
pabrik ini akhirnya melahirkan industrialis kapitalis yang menjadi sebagai pemilik modal
sekaligus pengontrol alat-alat produksi.
5.
Sistem sosialisme.
Argumen yang diajukan Karl Marx terhadap tahap-tahap tersebut yang
dilalui melalui revolusi sosial adalah :
a)
Berdasarkan hukum-hukum objektif
perkembangan masyarakat, pilihan revolusi kaum buruh merupakan kesimpulan yang
tidak terelakkan (sosilisme ilmiah: tidak hanya bersandar dan didorong oleh
cita-cita moral, tetapi juga berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum
perkembangan masyarakat.
b)
Manusia tidak akan dapat mengembangkan
dirinya secara utuh karena terpecah ke dalam kelas-kelas sosial. Penyebab
keterpecahan tersebut adalah sistem struktur, bukan sekadar masalah kehendak
buruk sekelompok orang yang membeku dalam modal dengan hukum-hukum yang
menguasainya. (sistem kapitalis).
c)
Bukan kesadaran sosial yang
menentukan keadaan sosial, tapi sebaliknya. Adapun factor determinannya adalah
produksi, sebab keadaan ekonomi seseorang sangat menentukan cara pandangnya
terhadap persoalan-persoalan hidupnya.
Menurut Karl Marx, ada 2 (dua) tingkatan revolusi dalam masyarakat
yang terdiri dari :
a)
Tingkatan peralihan, yaitu periode
kediktatoran dari kaum proletar. Di masa ini orang mengadakan perubahan yang
revolusioner. Kelas - kelas di dalam masyarakat hilang dengan sendirinya
seiring dihilangkannya hak milik pribadi atas sarana produksi, distribusi, dan
pertukaran.
b)
Tingkat kedua adalah tingkat kelima
atau tipe terakhir dari sistem produksi, yaitu terciptanya "masyarakat
tanpa kelas" atau komunisme murni. Alat-alat produksi telah manjadi milik
masyarakat, yaitu negara, di mana sejarah umat manusia telah ditutup dengan
suatu negara bahagia, sintesa dari dua zaman sebelumnya yaitu sosilisme (tesa)
dan kapitalisme (antitesa).
DAFTAR PUSTAKA
Djoened, Marwati
Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional
Indonesia III:
Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka
Djoened, Marwati
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia
Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Ebenstein, Willam &
Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex
Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984
Ebyhara, A. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid II. 1990. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka
Hamdi. 2013. liberalisme di indonesia masa kolonial
belanda.
Ir. Soekarno.
2001. “Imperialisme di Indonesia”, dalam Indonesia Menggugat, Yogyakarta:
Yayasan untuk Indonesia.
Malaka, Tan,
2008. Kapitalisme Indonesia, dalam Aksi Massa. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Kartodirjo, S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Marwati
Djoened Poesponegoro,Sejarah Nasional Indonesia volume IV, Jakarta :
Depdikbud. 1982
Website:
Ayok. 2008. Akar Sejarah Pemikiran Liberal (Online).
http://ayok.wordpress.com/2008/07/18/akar-sejarah-pemikiran-liberal/. Diakses
28 Februari 2014.
Hart, M. Tanpa Tahun. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah (Online). http://media.isnet.org/iptek/100/Voltaire.html. Diakses
19 September 2014.
http://www.sibarasok.com/2013/10/kebijakan-masa-penjajahan-belanda-ii-
di.html. (Online). Diakses tanggal 19 September 2014.
NBA Odds & Lines | NBA - Sporting 100
BalasHapusNBA 군산 출장샵 Odds and Lines. Today's NBA betting news, preview, 토토사이트 and futures lines. Odds 강원도 출장안마 provided by Sporting 100. The most reliable source 제주 출장안마 for NBA odds and 통영 출장마사지