Sabtu, 20 Desember 2014

ideologi-ideologi berpengaruh di dunia

oleh : Rusdi


FEODALISME

Konsep Dasar
Istilah feodalisme berasal dari bahasa Frankis (Perancis kuno) yang berbunyi fehu-ôd, feod, feud, dan yang berarti pinjaman, terutamalah tanah yang dipinjamkan, dan itupun untuk suatu maksud politik. Lawan kata itu adalah all- ôd atau milik sendiri Dalam peristilahan hukum adat feodum menyerupai tanah gumantung,  gaduh atau paratantra, sedangkan allod menyerupai tanah yasan, yosobondo atau svatantra.
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Pada abad petengahan di Eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir pada masa renaisanse abad ke-14, sekitar abad ke-3, Romawi pecah menjadi dua wilayah yakni Romawi barat dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan permulaan munculnya perekonomian yang biasanya kita sebut sistem feodalisme.
Beberapa faktor yang memunculkan perekonomian tersebut antara lain : hancurnya organisasi politik secara besar-besaran, pertempuran di Eropa yang menyebabkan jatuhnya Romawi, hukum dan tata tertib hilang digantikan dengan peraturan Negara-negara kecil.
Keharusan untuk mencukupi semua kebutuhan hidup menyebabkan timbulnya suatu organisasi yang baru, yaitu pertanian bangsawan atau manorial estate, selanjutnya disebut manor. Bagaimanakah bentuk manor ini? Manor meliputi sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawa ini termasuk dalam suatu hirarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemillik dan penguasa yang tak diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebgaimana halnya rumah, tanah dan tanaman. Disekililing rumah bangsawan terdapat lading rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau (satu setengah) 1 ½ setengah hektar. ½ atau lebih dari hasil lading ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan antara budak belian dan tuan tanah.
Dalam abad-abad itu makin lama makin banyak pemilik tanah yang bebas (yang ber-allod) dengan sukarela menyerahkan miliknya agar menjadi feod, milik orang lain, dengan mempertahankan hak pakai dan hak-guna-usaha atas tanahnya dahulu, dan dengan menerima hak-hak pelindungan. penjumlahan undang-undang tidak sanggup menghalang-halangi timbulnya kemerosotan. Ada tuan-tuan tanah yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, dengan menindas rakyat, ada pula yang memberontak terhadap pemerintah pusat dan menyatakan diri pemlik mutlak atas tanah yang dipinjamkan kepadanya. Tetapi tidak kurang pula penduduk-penduduk tanah pinjaman yang mengambil-alih tanah yang dipakanya menjadi tanah milik seorang. Huru-hara itu merupakan batu loncatan bagi penghapusan ke-feodal-an.
Pada tahun 1660 pemerintah Inggris membatalkan segala hak feodal. Tahun 1717 Negara Brandenburg mulai menjalankan allodifikasi (peralihan hak) dari tanah-tanah pinjaman. Pruisen menirunya tahun 1750. Montesquieu, seorang filsuf Prancis, dalam bukunya yang terkenal L’Esprit des Lois (th. 1748) untuk pertama kalinya menganjurkan istilah feodalisme untuk segala apa yang bersangkut paut dengan pemerintahan atas dasar pinjaman tanah. Ditambahkan olehnya bahwa feodalisme Frankis-Jerman adalah suatu peristiwa dalam sejarah yang hanya satu kali terjadi dan agaknya tidak pernah akan muncul kembali. Dalam revolusi Perancis segala hak feodal dibatalkan dalam putusan 4 Agustus 1789 dan 17 Juli 1793, Nederland meniru pembatalan itu dalam 1800. Jerman, baru pada tahun 1850, sebagai akibat pemberontakan 1848, mencabut susunan feodal. Austria menjalankan pencabutan itu dalam 1862, ialah belum berselang satu abad dari saat ini.
Sistem feodalisme ini kemudian digeser oleh sistem kapitalisme yang dimulai di Italia, dimana hubungan antara kelas tuan tanah dan pekerja sangat jelas. Mobilitas sosial sangat tinggi, dan manusia tidak dinilai berdasarkan keturunan, namun dinilai dari kemampuan keterampilan dan kerjanya. Inilah yang menjadi dasar perbedaan antara feodalisme dan kapitalisme.
Feodalisme di Indonesia
Feodalisme juga berkembang di Indonesia. Feodalisme terlahir dari adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa Hinduisme telah dominan di Nusantara ini sebelum datangnya Islam dan kolonialisme, Karena memang kerajaan Hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara ini.Sistem yang melekat dalam kerajaan Hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia sesuai dengan derajatnya tersebut.Feodalisme yang terjadi pada zaman kerajaan Hindu adalah pembagian kasta,dan menguasai Nusantara sekitar 10 abad  lamanya. Feodalisme juga berkembang pada masa Islam yaitu dalam model adat wakaf.
Feodalisme juga berkembang pada masa kolonial Belanda, walaupun Belanda mengembangkan sistem kapitalisme perkebunan di Indonesia yaitu dengan model “Tanam Paksa”, namun dalam pelaksanaannya tidak lepas dari tatanan yang feodal, dengan menggunakan bantuan orang-orang lokal.
Pada masa kini, di Indonesia selanjutnya muncul kebudayaan neo-feodalisme. Neo-feodalisme adalah feodalisme modern. Seperti yang kita ketahui feodalisme adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem kasta,dalam neo-feodalisme sistem kasta masih dipertahankan namun berubah  bentuk menjadi penguasa dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan berkembang dalam sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Negara kita.


LIBERALISME
2.1    Konsep Dasar Liberalisme
       Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.
       Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Liberal International: "Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama “demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur proletar. (Budiardjo, 1992:89).
Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din ‘an al-hayah).
2.2    Sejarah dan Perkembangan Liberalisme
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Dalam perkembangannya, ada dua corak liberalisme, liberalisme yang dipelopori oleh John Locke dan liberalisme yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau. John Locke berpendapat bahwa kebebasan yang menjadi nilai dasar liberalisme dipahami sebagai ketidakhadiran intervensi eksternal dalam aktivitasaktivitas individu. Kebebasan adalah hak properti privat. Karenanya, pemerintah bersifat terbatas (minimal) terhadap kehidupan warganya. Untuk itu harus ada aturan hukum yang jelas dan lengkap dalam menjamin kebebasan sebagai hak properti privat ini. Corak liberalisme ini kemudian mendasari dan menginspirasi munculnya libertarianisme yang dipelopori oleh Alexis de Tocqueville, Friedrich von Hayek dan Robert Nozick.
Di sisi lain Rousseau berpendapat bahwa pemerintah harus tetap berfungsi menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam masyarakat. Corak liberalisme ini selanjutnya mendasari dan menginspirasi munculnya liberalisme egalitarian, dengan tokohnya antara lain John Rawls dan Ronald Dworkin. Liberalisme ini berusaha menyatukan ide kebebasan dan kesamaan individu dalam masyarakat. Pemerintah dibutuhkan untuk meredistribusikan nilainilai sosial dalam melaksanakan dan mencapai kebebasan dan kesamaan individu-individu dalam masyarakat. Kebebasan hanya dapat dibatasi dan dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar yang lain yang lebih luas. Karenanya, kebebasan menurut liberalisme bukan sesuatu yang absolut, kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.
Setiap orang bebas memilih konsep tentang hidup yang baik, meskipun sangat berbeda dengan nilai dan pilihan hidup anggota komunitas yang lain. Namun, konsep tersebut tidak boleh melanggar prinsip keadilan. Orang-orang dengan konsep hidup yang berbeda-beda akan saling menghormati, bukan karena hal ini mempromosikan satu cara hidup bersama. Namun, karena mereka mengakui bahwa tiap-tiap orang memiliki klaim pertimbangan yang sama. Tidak ada tugas khusus yang ditetapkan komunitas terhadap individu. Tidak ada kelompok atau praktek sosial tertentu yang memiliki kewenangan di luar penilaian dan kemungkinan penolakan individu. Tidak ada yang “ditetapkan untuk seseorang” atau tidak ada yang berwewenang memberikan penilaian terhadap seseorang selain nilai yang ditetapkan oleh orang tersebut.
Pemerintah menurut liberalisme harus bersikap netral terhadap konsep apa pun tentang hidup yang baik, yang dianut dan dipilih oleh warganya. Pemerintah tidak boleh memberikan prioritas pada satu nilai di atas nilai yang lain, atau tidak menyokong dan mengabaikan salah satu nilai yang ada.
Liberalisme menganggap bahwa intervensi pemerintah untuk menyokong salah satu nilai atau pilihan hidup dan mengabaikan nilai atau pilihan hidup yang lain, melanggar dan membatasi otonomi individu, yang menjadi nilai liberalisme. Ide netralitas negara tidak membenarkan adanya tindakan atas dasar superioritas atau inferioritas intrinsik dari berbagai konsep tentang kehidupan yang baik. Tidak boleh ada tindakan yang secara sengaja atau tidak sengaja berusaha mempengaruhi penilaian-penilaian orang tentang nilai dari berbagai konsep yang berbeda ini. Kebebasan sebagai nilai yang esensial dalam kehidupan manusia akan terancam dengan adanya pemaksaan suatu pandangan khusus tentang kehidupan yang
baik pada setiap orang.
2.3    Tokoh-Tokoh Pencetus Faham Liberalisme
a)      John Locke
Pada bidang politik John Locke adalah seorang pelopor gagasan liberal pada abad ke-18. Dia adalah pemikir pertama yang menggagas prinsip pembagian kekuasaan (Separation of Power) yang ditegaskan oleh Montesquieu. Locke melontarkan pandangan bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif harus dipisahkan jika ingin menghindari terjadinya kezaliman kekuasaan. John Locke menjadi terkenal karena dua karyanya tentang dua pemerintahan sipil, Two Treatises on Civil Goverment pada tahun 1690. John Locke menggangap bahwa keadaan manusia secara alamiah cenderung berada dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan diwarnai dengan kesetaraan. Manusia ketika lahir memiliki kebebasan dan hak asasi. Menurut Locke pengakuan hak asasi manusia (HAM) dn kekuasaan hukum adalah dua macam perjanjian masyarakat (Ebyhara, A. 2010:151-155).
b)     Voltarie
Voltarie adalah seorang tokoh liberalisme Prancis. Nama sebenarnya adalah Francois Marie Arouet. Ia lahir di Prancis pada tahun 1694. Atas pemmikirannya yang sangat revolusioner inilah yang menyebabkan ia harus di penjara. Setelah ia dibebaskan kemudian ia tinggal di Inggris. Di Inggris ia belajar bercakap dan menulis dalam bahasa Inggris, ia juga berkenalan dengan cendekiawan Inggris secara pribadi. Voltarie sangat terkean dengan ilmuan-ilmuan Inggris serta faham yang berpegang pada perlu adanya percobaan secara praktek dan bukan hanya berpegang pada teori. Selain itu sistem politik Inggris juga mempengaruhi pemikirannya. Demokrasi Inggris dan kebebasan yang ada di Inggris inilah yang memberi kesan kepada Voltarie bahwa kehidupan politik Inggris lebih baik dari pada di Prancis. Setelah Voltarie kembali ke Prancis, ia menuliskan sebuah buku yang berisi tentang sistem politik Inggris serta pikiran-pikiran John Locke dan pemikiran-pemikiran Inggris lainnya. Akibat penulisan buku ini ia diusir dari Paris. Setelah itu ia menjadi seorang penulis yang tulisannya melebihi 30.000 halaman. 
Voltarie adalah seorang yang sangat toleransi terhadap agama. Ia pernah mengabdikan dirinya ke dalam “jihad intelektual” melawan fanatisme agama. Kesemua surat-suratnya senantiasa ditutupnya dengan kalimat "Ecrasez l'infame" yang maknanya "Ganyang barang brengsek itu!" Yang dimaksud Voltaire "barang brengsek" adalah kejumudan dan fanatisme (Hart. M. Tanpa Tahun).Dalam karya tulis Voltarie sangat banyak, salah satu pendirian Voltarie adalah terjamin kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
c)      Jean-Jacques Rousseau
J.J Rousseau lahir di Jenewa, Swiss. J.J Rousseau adalah seorang filosof, penulis ia menghasilkan gagasan tentang berbagai bidang. dan komposer pada abad pencerahan. Pemikiran filosufnya mempengaruhi Revolusi Prancis. Rousseau mulai terkenal pada tahun 1749 ketika karyanya “Discourse on the Arts and Sciience”, memenangkan penghargaan yang diberikan oleh Akademi Dijon untuk esai terbaik yang bertajuk apakah kebangkitan ilmu ikut andil dalam memperbaiki perilaku. Karya-karyanya J.J Rousseau mengandung ambiguitas dan tidak konsisten menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan pembaca dan pemerhati gagasan-gagasannya. Kadang ia tampak sebagai seorang yang mendukung kebebasan individu, kadang dalam tulisan lain juga tampil sebagai pendukung absolutisme negara. akan tetapi Rousseau tampaknya lebih banyak dikenang dan memiliki pemikiran yang lebih berpengaruh dibandingkan Montes Quieu. mungkin karena ia sangat menjunjung tinggi kebebaan sipil dan terlalu kencang dalam memberikan uraian tentang kebebasan (Ebyhara, A. 2010:160-163).

d)     Montesquieu
Seorang tokoh yang bekerja sebagai hakim mahkamah tinggi  di bordeaux ini memiliki nama lengkap Baron de Montesquieu merupakan seorang tokoh yang mencetuskan banyak teori politik besar pada masanya, yakni pada pada masa pencerahan. Montesquieu adalah seorang tokoh yang mendasarkan pemikirannya pada ehidupan nyata. Salah satu karya besarnya tentang politik dan negara adalah The Spirit of Law. Dalam karya ini, ia mendefinisikan hukum sebagai rasio manusia yang mengatur semua penduduk bumi: hukum politik dan sipil setiap bangsa seharusnya hanya merupakan khasus-khasus partikular sebagia buah dari proses akal manusia dan harus disesuaikan dengan orang-orang yang untuk merekalah hukum-hukum tersebut dikerangkakan. Dengan akal, manusia tak sepenuhnya dikuasai oleh alam, ia adalah mahkluk yang bebas dan bisa membantu menantukan takdirnya dan mencapai tujuan yang sebenarnya. hukum dan bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang yang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan (Ebyhara, A. 2010:158-160).  dari pernyataan yang sudah ada di atas tersebut dapat kita simpulkan bahwa Monstiqueui juga sependapat dan menghargai kebebasan kebebasan individu dalam suatu negara. dimana setiap  individu berhak menentukan jalannya masing masing. dan dalam suatu negara yang berhak menentukan peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang ada dalam negara tersebut adalah manusia-manusia yang tinggal di negara itu sendiri.
2.4  Sejarah Penetrasi Pemikiran Liberal di Indonesia
Liberalisme merupakan paham yang masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).
Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183).
2.5 Pengaruh Liberalisme Terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia
2.5.1 Liberalisme dalam Bidang Politik
Pelaksanaan politik liberal ternyata lebih berat daripada tanam paksa. Pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang. Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita (Suwanto, dkk., 1997 : 29-30).
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto, 2006 :128).     
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif, 2007). Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan semakin luas (Suwanto,dkk,1997:30).
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme merupakan ideologi yang dapat mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material adalah upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme menawarkan prinsip kebebasan individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan, dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang menggunakan ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak bisa atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
2.5.2 Liberalisme dalam bidang ekonomi
Sistem ekonomi kolonial antara tahun-tahun 1870 hingga 1900 disebut sistem liberalisme. Pada masa itu, modal swasta diberi peluang untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia khususnya di perkebunan-perkebunan besar. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Agraria tahun 1870. UU Agraria ini melindungi hak milik petani-petani Indonesia atas tanah mereka. Di sisi lain membuka peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia. Zaman Liberal merupakan penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan penyewaan tanah penduduk pribumi oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan-perkebunan besar. 
            Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman Liberal tidak terbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan, tapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri yang berkembang di Belanda (Kartodirjo, 2010: 372).
Ketika Negara Kolonial Hindia Belanda berdiri dan memperluaskan pengaruhnya, masyarakat Indonesia berada di dalam kehidupan politik yang hampir serupa, yakni dalam bentuk kerajaan atu kesultanan dan bukan kerajaan. Ketika negara Hindia Belanda menanamkan kekuasaannya, berlangsung perubahan. Di sepanjang abad ke-19 perubahan luas dan mendalam terjadi pada masyarakat Pulau Jawa (Marwati & Nugroho, 2010:1).
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik kolonial liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap menyengsarakan rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara menguasai bangsa Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah (Hamdi, 2013) .
Sistem dualistis merupakan alat utama untuk mempertahankan kondisi kolonial dalam arti subordinasi kepentingan daerah jajahan untuk kepentingan negara induk. Apa yang lazim dinamakan Periode Liberal (sejak tahun 1870)  tidak lain merupakan masa perdagangan bebas atau perusahaan bebas yang membuka sumber-sumber alam yang kaya raya di Indonesia bagi perusahaan-perusahaan Barat (Marwati & Nugroho, 2010:10). Pelaksanaan politik kolonial liberal sering disebut Politik Pintu Terbuka (Opendeur Politiek), yaitu membuka modal swasta asing untuk ditanamkan di Indonesia. Politik “pintu terbuka” terpaksa secara konsekuen dijalankan oleh Belanda karena banyak ditanam untuk menghasilkan bahan-bahan ekspor. Untuk menjamin ekspor itu perlu dilakukan “politik terbuka” bagi negeri-negeri asing (Broek, 1942:106). Dengan politik tersebut, Indonesia sebagai tempat untuk mendapatkan bahan mentah, mendapatkan tenaga yang murah, tempat pemasaran barang produk Eropa serta tempat penanaman modal asing. Modal swasta Belanda serta modal bangsa Barat lainnya masuk ke Indonesia dan ditanamkan ke dalam pertanian dan perkebunan sehingga perkebunan tebu dan tembakau berkembang pesat.

2.5.3 Liberalisme dalam Bidang Agama
Lebih jauh lagi, ternyata liberalisme telah masuk dalam wilayah agama. Sehingga dapat ditebak tentang liberalisme masuk dalam wilayah agama. Maka sebuah kenyataan pahit akan terjadi dalam sebuah gagasan tentang agama yang cenderung mengedepankan aspek individu dan menegasikan aspek sosial. Berangkat dari sinilah bangunan agama dalam kehidupan masyarakat akan terjadi sebuah kerancuan antara teks dan konteks.
Paling berbahaya lagi, ketika liberalisme berubah wajah dengan istilah Islam liberal. Sebab di saat liberalisme masuk dalam ranah agama Islam, tentu akan terjadi sebuah tafsir yang mengedepankan akal secara berlebihan. Sehingga menghasilkan sebuah hipotesis antara teks dan konteks tidak sejalan. Mengingat Islam liberal cenderung mengarah pada aspek kontekstual di banding aspek tekstual.
Keberadaan Islam merupakan agama fitrah. Ketika disandingkan dengan kebebasan individu secara berlebihan, tentu akan mempersempit makna Islam itu sendiri. Sebab Islam merupakan pengejawantahan antara aspek sosial dan individu secara utuh, tetapi tidak secara parsial dalam menerjemahkan sebuah persoalan masyarakat.
Paradigma liberalisme yang mengedepankan kebebasan individu, tetapi melupakan kebebasan sosial, tentu akan menghasilkan sebuah kerancuan dalam bangunan masyarakat. Berangkat dari sinilah sudah semestinya gagasan liberalisme merupakan sebuah ide yang tidak menyentuh secara utuh antara kepentingan individu dengan kepentingan sosial, tetapi Islam sangat utuh dalam menggambarkan masyarakat secara kaffah.
Masalah hubungan antara makhluk dengan penciptanya adalah masalah pribadi. Oleh karena itu menurut golongan liberal, tidak seorangpun yang diperkenankan mempengaruhi atau memaksa kebebasan beragama.. Kebebasan beragama ini mempunyai arti :
a.         Bebas untuk memilih suatu agama,
b.        Bebas untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan agamanya,
c.         Bebas untuk tidak memilih agama.



















NASIONALISME


1.        Konsep Dasar Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) adalah suatu paham modern yang menjadi dasar pergerakan-pergerakan politik di dunia. Paham ini pertama kali lahir di Inggris. Pengertian nasionalisme berhubungan erat dengan pengertian bangsa (nation). Bangsa adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan tujuan.
Berbagai pendapat tentang nasionalisme berdasarkan pandangan yang berbeda. Hans Kohn memandang nasionalisme dari sudut politik mengatakan: “Nationalism is a state of mind, in which supreme loyalty of the individual is felt to be due to the nation-state.” (Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan).
Lothrop Stoddard memandang nasionalisme sebagai gejala psikologis, mengatakan: “Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa (a state of mind), suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar manusia sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah suatu rasa kebersamaan segolongan (a sense of belonging together) sebagai suatu bangsa.
J. Ernest Renan (1823-1892) dan Otto Bouwer (1882-1939) memandang nasionalisme timbul karena faktor kemanusiaan. Renan mengemukakan bahwa munculnya suatu bangsa karena adanya kehendak untuk bersatu (satu suara persatuan). Sedangkan Bouwer mengungkapkan bahwa perasaan kebangsaan timbul karena persamaan perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan persatuan dan nasib bersama. Meskipun keduanya berpendapat bahwa nasionalisme timbul karena faktor kemanusiaan, namun keduanya memberikan tekanan yang berbeda. Menurut Ernest Renan, suatu bangsa timbul karena dorongan kemauan (contohnya bangsa Amerika Serikat), sedangkan Otto Bouwer, suatu bangsa timbul karena pengalaman penderitaan, kesengsaraan, dan kepahitan hidup yang sama. Contoh seperti nasionalisme di negara-negara Asia dan Afrika timbul akibat persaman nasib sebagai bangsa yang terjajah.
Sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirdjo menjelaskan nasionalisme sebagai fenomena historis timbul sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politis, ekonomi, dan sosial tertentu. Nasionalisme dalam taraf pembentukannya seperti masa-masa Pergerakan Nasional dihubungkan dengan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur itu dapat dilihat dengan adanya istilah-istilah: group counsciousness, we-sentiment, corporate will dan bermacam-macam fakta mental lainnya. Pada taraf ini nasionalisme belum memasukkan unsur-unsur objektif seperti teritorial (wilayah), negara, bahasa, dan tradisi bersama.
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dijelaskan bahwa nasionalisme adalah paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan maju dalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai, memelihara dan mengabdi identitas, persatuan, kemakmuran, dan kekuatan atau kekuasaan negara bangsa yang bersangkutan.
Berdasar pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai suatu bangsa. Dengan demikian nasionalisme merupakan dasar terbentuknya suatu bangsa.
2.    Sejarah dan Perkembangan Nasionalisme
a.      Perkembangan Awal

Kebanyakan teori menyebutkan bahwa sejarah nasionalisme dan nilai-nilainya bermula dari Eropa. Sebelum abad ke-17, belum terbentuk satu negara nasional pun di Eropa. Yang ada pada periode itu adalah kekuasaan kekaisaran-kekaisaran yang meliputi wilayah yang luas, misalnya kekuasaan kekaisaran Romawi Kuno atau Kekaisaran Jerman di bawah pimpinan Karolus Agung. Yang jelas, kekuasaan bergandengan tangan dengan gereja Katolik, sehingga masyarakat menerima dan menaati penguasa yang mereka anggap sebagai titisan Tuhan di dunia. Karena itu, kesadaran akan suatu wilayah (territory) sebagai milik suku atau etnis tertentu belum terbentuk di Eropa sebelum abad ke-17.
Di awal abad ke-17 terjadi perang besar-besaran selama kurang lebih tiga puluh tahun antara suku bangsa-suku bangsa di Eropa. Misalnya, perang Perancis melawan Spanyol, Prancis melawan Belanda, Swiss melawan Jerman, dan Spanyol melawan Belanda, dan sebagainya. Untuk mengakhiri perang ini suku bangsa yang terlibat dalam perang akhirnya sepakat untuk duduk bersama dalam sebuah perjanjian yang diadakan di kota Westphalia di sebelah barat daya Jerman. Pada tahun 1648 disepakati Perjanjian Westphalia yang mengatur pembagian teritori dan daerah-daerah kekuasaan negara-negara Eropa yang umumnya masih dipertahankan sampai sekarang.
Meskipun nasionalisme adalah unik untuk dunia modern, beberapa unsur-unsurnya dapat ditelusuri sepanjang sejarah. Akar pertama nasionalisme mungkin bisa ditemukan dalam Ibrani kuno, yang dikandung dari diri mereka sebagai orang kedua yang dipilih, yaitu, suatu bangsa secara keseluruhan lebih tinggi daripada semua orang lain, dan orang-orang dengan sejarah budaya yang umum. Yunani kuno juga merasa lebih tinggi daripada semua bangsa lain dan terlebih lagi merasakan perasaan kesetiaan yang begitu besar kepada komunitas politik. Perasaan superioritas budaya (etnosentrisme), yang mirip dengan nasionalisme, memberi jalan untuk lebih universal identifikasi di bawah Kekaisaran Romawi dan dengan Gereja Kristen melalui ajaran kesatuan kemanusiaan.
Seperti kerajaan-kerajaan yang terpusat kuat dibangun dari negara-negara feodal kecil, sebagai bahasa daerah dan bentuk-bentuk seni yang berkembang, dan sebagai melebar ekonomi lokal, identifikasi populer dengan perkembangan ini menjadi semakin kuat. Di daerah-daerah seperti Italia, yang belum satu bangsa, berulang invasi pemikir seperti seperti Niccolò Machiavelli untuk mengadvokasi federasi politik nasional. Perang keagamaan dari Reformasi mengatur bangsa melawan bangsa, meskipun loyalitas kuat terus mengikuti sultan. Ekonomi nasionalistis doktrin merkantilisme muncul.
Pertumbuhan kelas menengah, keinginan mereka untuk kekuasaan politik, dan akibatnya perkembangan teori politik yang demokratis yang berhubungan erat dengan munculnya nasionalisme modern. Para ahli teori Revolusi Perancis orang berpendapat bahwa pemerintah harus menetapkan kesetaraan dan kebebasan bagi semua orang.Bagi mereka bangsa tidak dapat dipisahkan dari rakyat, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah suatu bangsa dapat menciptakan sebuah pemerintah sesuai dengan kehendak umum bangsa. Meskipun tujuan mereka yang universal, mereka memuliakan bangsa yang akan menetapkan tujuan mereka, dan nasionalisme menemukan ekspresi politik pertama.
b.      Abad Kesembilan Belas
Pada abad ke 19 nasionalisme menjadi luas dan kuat. Selama masa ini nasionalisme mengekspresikan dirinya dalam banyak bidang sebagai drive untuk persatuan nasional atau kemerdekaan. Semangat nasionalisme itu terus yang sangat kuat di Jerman, dimana pemikir seperti Johann Gottfried von Herder dan Johann Gottlieb Fichte telah mengembangkan gagasan Volk. Namun, nasionalisme yang mengilhami orang-orang Jerman untuk bangkit melawan kekaisaran Napoleon I adalah konservatif, tradisi-terikat, dan sempit daripada liberal, progresif, dan universal. Dan ketika Jerman terpecah akhirnya bersatu sebagai Kekaisaran Jerman pada tahun 1871, itu yang sangat otoriter dan militeristik negara. Setelah bertahun-tahun berperang, Italia juga mencapai penyatuan nasional dan kebebasan dari dominasi asing, tetapi daerah-daerah tertentu yang dihuni oleh Italia (misalnya, Trieste) tidak dimasukkan dalam negara baru, dan hal ini menimbulkan masalah irredentism. Di Amerika Serikat, di mana nasionalisme itu yang tampak dirinya dalam doktrin Manifest Destiny, persatuan nasional dipertahankan pada biaya Perang Saudara.
Di paruh kedua abad ke 19., Ada gerakan-gerakan nasionalis yang kuat di antara bangsa-bangsa tunduk pada supranasional Austria dan kerajaan Utsmani, karena ada di Irlandia di bawah pemerintahan Inggris, dan di Polandia di bawah kekuasaan Rusia. Pada saat yang sama Namun, dengan munculnya di Eropa yang kuat, terpadu negara-bangsa, nasionalisme menjadi semakin menjadi sentimen konservatif. Itu berbalik melawan gerakan internasional seperti itu sebagai sosialisme, dan menemukan outlet dalam mengejar kemuliaan dan kerajaan.  Konflik nasionalis banyak yang harus dilakukan dengan membawa pada Perang Dunia I.
c.       Pada Abad ke 20
Awal abad ke 20, Dengan pecahnya Austria-Hongaria dan Kekaisaran Ottoman, melihat pembentukan banyak negara yang independen, terutama melalui perjanjian damai mengakhiri Perang Dunia I. Konferensi Perdamaian Paris menetapkan prinsip nasional menentukan nasib sendiri, ditopang oleh Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara penentuan nasib sendiri adalah sebuah prinsip nasionalis, itu juga mengakui persamaan dasar dari semua bangsa, besar atau kecil, dan karena itu melampaui nasionalisme sempit yang mengklaim superioritas bagi dirinya sendiri.
Saat itu persis jenis terakhir ini nasionalisme Namun, yang muncul di Nazi Jerman, khotbah keunggulan yang disebut ras Arya dan perlunya pemusnahan orang Yahudi dan orang-orang Slavia perbudakan di "ruang hidup"  Italia fasisme adalah dengan cara yang sama didasarkan pada sentimen nasionalis ekstrim. Pada saat yang sama, Asia dan Afrika wilayah kolonial, yang berusaha membuang kekaisaran obligasi, sedang berkembang gerakan nasionalis. Mungkin yang paling terkenal ini adalah Kongres Nasional India, yang berjuang untuk kemerdekaan India selama lebih dari 60 tahun. Setelah Perang Dunia II, nasionalisme di Asia dan Afrika seperti tersebar di kecepatan yang cepat puluhan baru "bangsa" yang dibuat dari bekas kolonial kepemilikan teritorial.
Meskipun saling ketergantungan dan komunikasi global yang saling berhubungan semua bangsa oleh 1990-an, nasionalisme tampaknya telah tumbuh lebih ekstrim dengan pecahnya imperium Soviet, pertumbuhan fundamentalisme Islam, dan keruntuhan Yugoslavia. Xenophobia, gerakan separatis tidak perlu terbatas pada negara-negara yang baru merdeka, mereka muncul di banyak negara Eropa dan Kanada, serta India, Iran, Irak, Turki, Libanon, Indonesia, Sri Lanka, dan banyak lainnya. Organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropa, Organisasi Negara-negara Amerika, dan Organisasi Persatuan Afrika, mewakili upaya untuk mengekang ekstrem nasionalisme, menekankan kerjasama antar bangsa.
Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosiokultural yang ada di masing-masing negara. Pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas persamaan-persamaan darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Lambat laun ada unsur tambahan, yaitu dengan adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakat (demokrasi politik dan demokrasi sosial) serta adanya persamaan kepentingan ekonomi. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah nasionalisme modern.
Semangat nasionalisme itu kemudian menyebar ke seantero dunia dan mendorong negara-negara Asia-Afrika memperjuangkan kemerdekaannya. Hal ini terjadi setelah Perang Dunia I dan selama Perang Dunia II. Hanya dalam dua puluh lima tahun pasca Perang Dunia II, sekitar 66 negara-bangsa pun lahir. Indonesia termasuk salah satu dari negara bangsa yang baru lahir pasca Perang Dunia II ini. Di abad ini, semangat nasionalisme telah mendorong negara-negara di bawah bekas Yugoslavia dan bekas Uni Soviet lahir sebagai negara-negara bangsa. Dapat dipastikan bahwa ke depan, nasionalisme akan terus menjadi ideologi yang menginspirasi dan mendorong gerakan pembentukan komunitas bersama berdasarkan karakteristik etnis, kultur, atau pun politik.
3.    Nasionalisme di Indonesia
Transformasi politik di kawasan Asia dan Afrika pasca-Perang Dunia II memiliki kecenderungan berupa faham sosialisme yang cukup mendominasi. India, Birma, bahkan Indonesia sekalipun memiliki unsur sosialisme yang sangat kental di dalam pergerakan nasionalismenya . Di India, pemerintahan Pandit Jawaharlal Nehru yang berlangsung pada masa awal kemerdekaan India sangat bernuansa sosialis demekian pula Birma, unsure komunisme berperan cukup besar. Mayoritas kursi pemerintahan Birma oleh orang-orang berpemikiran sosialisme-komunisme. Di Indonesia, faham komunisme berkembang dengan dibentuknya Partai Komunis Indonesia pada masa pergerakan nasional, tetapi surut pada masa pendudukan Jepang. Gerakan komunis muncul lagi pasa Perang Dunia II ketika terjadi pemberontakan komunis pada 1948 di Madiun.
Versi sejarah yang sekian lama diakui menetapkan bahwa perlawanan politik pertama adalah pembentukan organisasi yang dikenal dengan Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908, peristiwa itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Agaknya versi ini layak ditinjau ulang, Boedi Oetomo sesungguhnya tidak mencerminkan kebangsaan tetapi kesukuan. Organisasi tersebut membatasi keanggotaannya hanya untuk suku Jawa dan Madura serta lapisan elit pula. Penulis cenderung berpendapat bahwa organisasi yang cocok dinilai berskala nasional adalah Jamiyyatul Khairiyyah. Walaupun para pembentuknya adalah keturunan Arab tetapi terbuka untuk kaum Muslim, umat mayoritas di Indonesia. Lagi pula dibentuk lebih dahulu dari Boedi Oetomo yaitu tahun 1901.
Pembentukan organisasi dengan berbagai faham atau bidang segera terjadi, antara lain Serikat Dagang Islam (kelak Partai Syarikat Islam Indonesia), Indische Partij, Muhammmadiyah, Nahdhatul 'Ulama, Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan lain-lain.
Di kalangan orang Belanda ternyata ada perselisihan pendapat tentang memperlakukan Indonesia di masa depan. Ada suara-suara yang menginginkan hubungan Belanda dengan wilayah jajahannya terutama Indonesia berubah lebih manusiawi dibanding sebelumnya. Pendapat tersebut memiliki dasar bahwa Belanda telah sangat berhutang budi kepada Indonesia, Belanda telah mengambil banyak dari Indonesia sekaligus nyaris tidak memberi apapun[4].
Berbagai perangkat mengalir dari Belanda ke Indonesia, dan berbagai proyek untuk membenahi taraf hidup rakyat diwujudkan semisal pembangunan sekolah, irigasi, telekomunikasi dan sebagainya. Pendidikan kelak menghasilkan lapisan masyarakat terdidik yang justru kurang diinginkan oleh tatanan kolonial, karena kelak para intelek tersebut akan membangkitkan kesadaran rakyat jajahan untuk menuntut hak.
Seiring waktu berjalan, gerakan politik anti kolonial kelak terbagi berdasar suku, daerah dan agama. Tetapi ada tiga kelompok besar gerakan tersebut yaitu nasionalis, agamis dan komunis, mereka menjadi campuran dahsyat sekaligus goyah melawan kolonial. Setelah proses dekolonisasi selesai, perpecahan antara tiga kelompok tersebut semakin hebat.
Dari kelompok nasionalis sangat dikenal Partai Nasional Indonesia, partai ini dibentuk tahun 1927 oleh Soekarno (1901-1970), yang kelak presiden pertama Republik Indonesia (1945-1967). Dari kelompok agamis sangat dikenal Partai Syarikat Islam Indonesia dengan tokoh kharismatis (walaupun bukan pembentuk) yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Dari kelompok komunis agaknya cuma ada satu organisasi yaitu Partai Komunis Indonesia dengan tokoh terkemuka Semaoen, Alimin dan Muso.
Kebangkitan nasional tidak terlepas dari suasana internasional. Awal abad ke-20 dunia Timur bangkit melawan keunggulan Barat. Jepang misalnya, dengan sigap melaksanakan modernisasi yang dikenal dengan Restorasi Meiji sehingga terhindar dari penjajahan Barat. Pada awal abad ke-20 hasilnya dapat dirasakan, sekitar 90 persen warga Jepang melek huruf. Jepang pulalah yang mengejutkan dunia dengan kemenangannya melawan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Perang tersebut dianggap sebagai konflik besar pertama abad ke-20, Jepang telah membuktikan bahwa Barat dapat dikalahkan.
Gerakan Wahhabiy di Arabia sejak abad ke-18 masuk ke Indonesia dan sempat mengobarkan Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera dan pembentukan Muhammadiyah di Jawa. Faham Wahhabiy memurnikan pemahaman dan pengamalan Islam dari berbagai faham yang bertentangan semisal tahyul, bid'ah, churafat (kini khurafat) dan syirik.
Demikian sekilas uraian kebangkitan di luar negeri yang sedikit banyak mempengaruhi bangsa Indonesia untuk bangkit sebagai bagian kebangkitan besar Timur. Pelajaran yang dapat diambil dari periode penjajahan adalah kelengahan akibat prestasi panjang nyaris selama 7000 tahun berakibat kecolongan oleh Barat. Untuk pertama kalinya, Timur mengalami keterputusan masa jaya sejak awal abad ke-19. Ketertinggalan itulah yang dicoba untuk dikejar oleh Timur sejak awal abad ke-20.
Usaha meraih titik temu antara kepentingan nasional Indonesia dengan kepentingan kolonial Belanda pernah terjadi dengan pembentukan "Gapi" (Gabungan Politik Indonesia) tahun 1939. Gerakan tersebut mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk memberi hak membentuk parlemen Indonesia atau tegasnya pemerintahan Indonesia di dalam lingkungan Kerajaan Belanda, namun rezim kolonial menolak. Indonesia terlalu berharga untuk diberi hak mengatur diri sendiri walaupun masih dalam lingkup kerajaan karena tatanan kolonial yang menempatkan secara tegas Belanda sebagai majikan dan Indonesia sebagai pelayan sangat menguntungkan Belanda. Belanda justru makin memperketat pengawasan para aktivis kemerdekaan mengingat dunia di ambang perang besar yang disebut "Perang Dunia II". Jerman nampak bernafsu menaklukan Eropa (tentu termasuk Belanda) dan Jepang nampak bernafsu menaklukan Asia (tentu termasuk Indonesia).








KAPITALISME

A.      Konsep Dasar Kapitalisme
Secara etimologi kapitalisme berasal dari kata kapital. Kapital berasal dari bahasa Latin yaitu capitalis yang sebenarnya diambil dari kata kaput (bahasa Proto-Indo-Eropa) berarti “kepala”. Arti ini menjadi jelas jika kita gunakan dalam istilah “pendapatan per kapita” yang berarti pendapatan per kepala. Juga masih memiliki arti yang sama, ketika dipakai dalam kalimat capital city (kota utama).
Lantas apa hubungannya dengan “capital” yang sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon, kekayaan penduduk Romawi kuno diukur dengan seberapa banyak caput (kepala) hewan ternak yang ia miliki.  Semakin banyak kaput-nya, maka ia dianggap semakin sejahtera. Tidak mengherankan jika kemudian mereka mengumpulkan sebanyak-banyaknya kaput untuk mengembangkan usaha dan mengejar kesejahteraan. Maka menjadi jelas, mengapa kita menterjemahkan capital sebagai “modal”. Lantas, kita tahu bahwa ism mengacu kepada “paham”, “ideologi” yang maknanya sudah diterangkan di atas.
Secara terminologi, Kapitalisme berarti suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme pendidikan terjadi apabila prinsip kapitalisme digunakan di dalam  sektor pendidikan, negara tidak membatasi kepemilikan perorangan di dalam sektor pendidikan, artinya satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh perorangan (sektor swasta atau aktor non negara), dimana segala kebijakannya diatur oleh sektor swasta tersebut. Pengelola sektor pendidikan (pihak swasta) ini, mulai bersaing antara satu dengan lainnya. Bagi pihak pengelola pendidikan yang memenangkan persaingan akan mendapatkan pengguna jasa pendidikan lebih banyak. Modal dari pihak pengelola sektor pendidikan pun akan masuk dan dapat diakumulasikan. Ketika  mengikat maka akan terjadi monopoli, sehingga penentuan harga (biaya pendidikan) tanpa ada penawaran dan permintaan terlebih dahulu dengan para pengguna jasa pendidikan. Pengelola pendidikan pun menawarkan harga (biaya pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak pengguna jasa pendidikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menawar harga (biaya pendidikan). Akhirnya, akan muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa orang yang kaya lah yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi pihak pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam mendapatkan pendidikan tersebut.
Prinsip-prinsip kapitalisme yaitu :
1)      Mencari keuntungan dengan berbagai cara dan sarana kecuali yang terang-terangan dilarang Negara karena merusak masyarakat seperti heroin dan semacamnya.
2)      Mendewakan hak milik pribadi dengan membuka jalan selebar-lebarnya agar tiap orang mengarahkan kemampuan dan potensi yang ada untuk meningkatkan kekayaan dan meliharanya serta tidak ada yang menjahatinya. Karena itu dibuatlah peraturan-peraturan yang cocok untuk meningkatkan dan melancarkan usaha dan tidak ada campur tangan Negara dlam kehidupan ekonomi kecuali dalam batas-batas yang sangat diperlukan oleh peraturan umum dalam rangka mengokohkan keamanan.
3)      Perfect competition.
4)      Price system sesuai dengan tuntutan permintaan dan kebutuhan bersandar pada peraturan harga yang diturunkan dalam rangka mengendalikan komoditas dan penjualannya.
Bentuk-bentuk kapitalisme yaitu:
1)        Kapitalisme perdagangan. Muncul pada abad ke-16 setelah dihapusnya system feodal. Dalam Bentuk-bentuk system ini seorang pengusaha mengangkat hasil produksinya dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kebutuhan pasar. Dengan kemudian ia berfungsi sebagai perantara antara produsen dan konsumen.
2)        Kapitalisme industry. Lahir karena ditopang oleh kemajuan industry dengan penemuan mesin tenun tahun 1733 dan mesin uap oleh James Watt tahun 1765. Semua itu telah membangkitkan revolusi industry di Ingris dan Eropa menjelang abad ke-19. Kapitalisme industry ini tegak di atas dasar pemisahan antara modal dan buruh, yakni antara manusia dan mesin.
3)        System Kartel yaitu kesepakatan perusahaan-perusahaan besar dalam membagi pasaran internasional. System ini member kesempatan untuk memonopoli pasar dan pemasaran seluas-luasnya. Aliran ini tersebar di Jerman dan Jepang.
4)        System Trust yaitu sebuah system yang membentuk satu perusahaan dari berbagai perusahaan yang bersaing agar perusahaan tersebut lebih mampu berproduksi dan lebih kuat untuk mengontrol dan menguasai pasar.
Pemikiran dan keyakinan-keyakinan lainnya Aliran naturalism yang merupakan dasar kapitalisme ini sebenarnya menyerukan hal-hal sebagai berikut:
1)        Kehidupan ekonomi yang tunduk kepada system natur yang bukan buatan manusia. Dengan sifat seperti itu akan mampu mewujudkan pengembangan hidup dan kemajuan secara simultan.
2)        Tidak ada campur tangan Negara dalam kehidupan ekonomi dan membatasi tugasnya hanya untuk melindungi pribadi-pribadi dan kekayaan serta menjaga keamanan dan membela Negara.
3)        Kebebasan ekonomi bagi tiap individu dimana ia mempunyai hak untuk menekuni dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan. Tentang kebebasan seperti ini diungkapkan dalam sebuah prinsip yang sangat masyur dengan semboyan “biarkan ia bekerja dan biarkan ia berlalu.”
4)        Kepercayaan kapitalisme terhadap kebebasan yang tiada batas telah membawa kekacauan keyakinan dan perilaku. Ini melahirkan berbagai konflik di Barat yang kemudian melanda dunia sebagai akibat dari kehampaan pemikiran dan kekosongan rohani.
5)        Rendahnya upah dan tunmtutan yang tinggi mendorong tiap anggota keluarga bekerja. Akibatnya tali kekeluargaan putus dan sendi-sendi sosial di kalangan mereka runtuh.

B.  Sejarah dan Perkembangan Kapitalisme
Kapitalisme atau capital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dimana pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar (Wikipedia, bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Menurut Dudley Dillard kapitalisme adalah hubungan-hubungan di antara pemilik  pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah, tambang, instalasi industry dan sebagainya, yang secara keseluruhan disebut modal atau capital) dengan para pekerja yang biar pun bebbas namun tak punya modal yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada para majikan.
System kapitalisme sepenuhnya memihak dan menguntungkan pihak-pihak pribadi kaum bisnis swasta. Seluruh keputusan yang menyangkut bidang produkasibaik itu alam dan tenaga kerja dikendalikan oleh pemilik dan diarahkan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Secara sosiologis paham kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum feodal salah satu tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya “The Protestan Etic of Spirrit Capitalism” mengungkapkan bahwa kemunculan kapitalisme erat sekali dengan semangat religious terutama kaum protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang mengatakan bahwa lewat perbuaatan dan karya yang lebih bain  manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh yang mendukung adalah Benjamin Franklin dengan motonya yang sangat terkenal: “Time is Money’, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.
Bapak kapitalisme yaitu Adam Smith mengemukakan lima teroti dasar dari kapitalisme yaitu:
1)   Pengakuan hak milik pribadi tanpa batas-batas tertantu.
2)   Pengakuan hak pribadi untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status sosial ekonomi.
3)   Pengakuan adanya motivasi ekonomi dalam bentuk semangat meraih keuntungan semaksimal mungkin.
4)   Kebebasan melakukan kompetisi
5)   Mengakui hukum ekonomi pasar bebas atau mekanisme pasar.
Pada akhir abad pertengahan (abad 16 – 18), industry di Inggris sedang terkonsentrasi pada industry sandang. Industry sandang di Inggris menjadi industry sandang terbesar di Eropa. Meskipun banyak masalah yang dihadapi akan tetapi industry sandang di Ingris menjadi industry yang sangat pesat. Industry sandang inilah yang menjadi pelopor lahirnya kapitalisme di Eropa sebagai suatu system sosial dan ekonomi. Kemudian industry ini berlanjut pada usaha perkapalan, pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi bentuk kekayaan yang lain.
Dari beberapa kejadian dan juga factor lingkungan historis mempengaruhi pembentukan modal di Eropa Barat pada awal terbentuknya kapitalisme antara lain:
a.         Dukungan agama bagi kerja keras dan sikap hemat
b.        Pengaruh logam-logam mulia dari dunia baru terhadap perkembangan relative pendapatan atas upah, laba dan sewa.
c.         Peranan Negara dalam membantu dan secara langsung melakukan pembentukan modal dalam bentuk benda modal aneka guna.
Etika ekonomi yang diajarkan katolisme abad pertengahan menciptakan banyak hambatan bagi perkembangan kapitalis dan ideology kapitalis (Dudley Dillar, 1997;17).
Pendapat Adam Smith yang paling penting ialah tentang ketergantungan peningkatan perekonomian kemajuan dan kemakmuran kepada kebebasan ekonomi yang tercermin pada kebebasan individu yang memberikan seseorang bebas memilih pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya yang dapat mewujukan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya. Kebebasan pedagang dimana produktivitas peredaran produksi dan distribusinya berlangsung dalam iklim persaingan bebas.
Kaum kapitalis memandang kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu untuk menciptakan keserasian antara dirinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu adalah suatu kekuatan pendorong bagi produksi karena ini benar-benar menjadi hak manusia yang menggambarkan kehormatan kemanusiaan.

C.  Kapitalisme di Indonesia
Sejak Orde Lama sampai dengan Era Reformasi, perjalanan kekuatan bisnis kapitalis Indonesia, baik pribumi maupun pengusaha keturunan Tionghoa, identik dengan dukungan elit eksekutif. Oleh karena itu apabila kita membahas perjalanan kapitalisme di Indonesia dari satu rezim ke rezim lainnya, maka tidak akan pernah lepas dari sistem politik dan sistem ekonomi yang dianut rezim yang sedang berkuasa.
Sejarah kebangkitan kapitalisme dan industrialisasi di Indonesia terjadi pada tahun 1966, ketika Orde Baru mulai menjalankan kekuasaannya. Tahun 1966 merupakan tonggak sejarah penting bagi bangsa Indonesia, bukan saja dalam konteks politik tetapi juga dalam konteks ekonomi. Gaya kepemimpinan otoriter Presiden Soeharto yang didukung oleh pejabat militer dan teknokrat, yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi, membawa konsekuensi kepada kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang cenderung memihak kepada kepentingan pemilik modal, baik investor domestik yang didominasi oleh pengusaha etnik Tionghoa, maupun investor asing yang berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat.
            Selanjutnya kapitalisme menyentuh berbagai bidang kehidupan Indonesia antara lain :
a.      Kapitalisme Pendidikan
Kapitalisme kini telah menyentuh wilayah pendidikan nasional. Munculnya dikotomi Sekolah Berstandar Internasiaonal (SBI) dan sekolah biasa merupakan pengejawantahan semangat kapitalis dalam dunia pendidikan. Tidak dipungkiri, akan muncul kelas-kelas sosial sebagai bias ‘penerapan’ ide kapitalis dalam dunia pendidikan. Kelas sosial karena system pendidikan yang berbasis modal dan menyampingkan kecerdasan.
Contoh sederhana, jika dikota anda ada sekolah ber-SBI atau minimal masih Rintisan Standar Internasiona (RSBI) yang bersebelahan dengan sekolah biasa, anda pasti menyaksikan fenomena memprihatinkan. Betapa kesenjangan sosial kelihatan sangat nyata dan menjadi pemandangan lumrah. Halaman parkir sekolah ber-SBI dipastikan penuh dengan mobil dan seluruh siswa masuk sekolah menenteng laptop. Sebaliknya di sekolah biasa, para siswa diantar dengan sepeda motor, naik angkutan kota, bahkan jalan kaki. Jarang sekali yang menenteng laptop atau membawa ponsel pun seharga ratusan ribu. Kesenjangan kenyataan ini merupakan pengejawantahan gagasan kapitalisme dalam dunia pendidikan.
Perbedaan menyolok performance siswa dan pengajar antara sekolah berstandar internasional dan sekolah biasa mengindikasikan munculnya kelas sosial dalam masyarakat pendidikan. Sebuah kelas sosial sebagai akibat system pendidikan yang berbasis modal dan meletakkan kemampuan atau kecerdasan adalah efek dari kekuatan modal.
Dalam system pendidikan nasional, kecerdasan bisa dicapai apabila ditunjang oleh fasilitas lengkap (berteknologi tinggi). Dengan teknologi yang memadai, maka proses belajar akan berlangsung dengan baik. Logika seperti inilah yang menjadi landasan kegiatan belajat mengajar dalam system pendidikan kita. Lantas bagaimana dengan siswa yang tidak mamapu ‘membeli’ segala fasilitas mahal tersebut.
Semestinya konsep SBI dan Non SBI ditinjau ulang. Sesuai amanat UUD 1945 bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Pemerataan pendidikan harus dirasakan oleh seluru masyarakat Indonesia. Kenyataanya dalam sisitem pendidikan kita mereka yang memiliki modal akan menikmati fasilitas pendidikan yang mewah. Sedangkan yang kurang beruntung hanya bisa menikmati sekolah biasa dengan fasilitas seperti seadanya.

b.      Kapitalisme Dalam Lembaga Keuangan Perbankan
Kebaikan system kapitalis bagi Indonesia adalah memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan suntikan dana investasi dari Negara kapitalis. Investasi ini sangat menguntungkan karena kita secara financial tidak dirugikan oleh investasi para kapitalis ini, jadi mereka memberikan uang (investasi) untuk dikelola oleh kita. Kalo ternyata kita bisa menggunakan uang tersebut dengan baik dan memperoleh laba, kita bagi-bagi uang labanya dengan si kapitalis tersebut (bagi hasil).
            Kalau ternyata kita merugi, artinya uang investasi habis tapi tidak mendapatkan laba, maka si kapitalis akan menarik uangnya yang tersisa. Jadi sebenernya dengan adanya kapitalis itu menanamkan investasi di Indonesia, kita punya kesempatan gratis untuk membangun bisnis tanpa resiko. Hanya saja biasanya kalau perusahaan bangkrut dan investasi ditarik lagi, maka para pegawai perusahaan itu akan di PHK dan inilah yang biasanya di ekspos, seolah-olah ada orang Indonesia yang menderita karena system ekonomi yang kapitalis.




IMPERIALISME

Perkataan imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini. hingga kata imperealisme ini bisa digunakan untuk dan menetap dimana saja.
Imperialisme kuno suatu bentuk perluasan jajahan yang memiliki berbagai tujuan. Yang kita ketahui penyebaran agama, mendapatkan kekayaan, dan memperoleh kejayaan (Gold, Glory, Gospel). Sedangkan Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an yang mengakibatkan industri besar-besaran. Hal yang menjadi faktor pendorongnya adalah adanya kelebihan modal dan barang di negara-negara Barat. Selepas tahun 1870-an, Negara-negara Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika dan Afrika. Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.
Dari tujuan Imperialis yang seperti itu akan lahir paham berikutnya yaitu Fasisme dan Sosialisme. Fasisme yang merupakan pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totaliter oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis.



FASISME

A.  Konsep Dasar Fasisme
Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.
Kemunculan fasisme sebagai reaksi terhadap liberalisme dan positivise yang terlihat dari kecenderungannya yang anti intelektualisme dan dikmatisme. Fasisme merupakan mansifestasi dari kekecewaan terhadap kebebasan individual dan kebebasan berfikir.
Akar-akar filsafat fasisme bisa dilacak dalam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Zietzche, Marinetti, OswaldSpengler, Chamberlain. Fasisme memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuk yang modern dan kontemporer dan dalam formatnya yang par exellence terjadi ketika Benito Mussolini menguasasi Italia (1922) Hitler dengan Nazinya mendominasi jerman (1933) Franco berkuasa di Spanyol (1936) TennoHeika memerintah jepang (1930-an) dan Amerika Latin dimasa kekuasan Juan Peron (1950-an). Suhelmi (2004:334)
Ajaran-ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep perramaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.

B.     Sejarah kemunculan  dan perkembangnnya
Fasisme (fascism) merupakan pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara totoaliter, oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis rasialis, militeristis, dan imperialis. Italia merupakan negara pertama yang menjadi Fasis (1922) menyusul jerman tahun 1933 dan kemudian Spanyol melalui perang saudara yang pecah tahun 1936. Di Asia Jepang berubah menjadi fasis dalam tahun 1930-an melalui perubahan secara perlahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya aslinya.
Fasis muncul dan berkembang di negara-negara yang relatif lebih makmur dan secara teknologi lebih maju. Fasis merupakan produk dari masyarakat-masyarakat prademokrasi dan pasca industri. Kaum fasis tidak mungkin merebut kekuasaan dinegara-negara yang tidak memiliki pengalaman demokrasi sama sekali. Pengalaman negara demokrasi yang dirasakan semu oleh masyarakat bahkan mengalami kegagalan dengan indikator adanya proses sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbentunya monopoli dan oligopoli dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan kelas bawah seperti buruh, petani atau kelas menengah atas sepserti kaum cendikiawan, kaum industialis, maupun pemilik modal, ini adalah lahan yang subur bai gerakan fasis untuk melancarkan propagandanya
Semakin keras dan teoritis gerakan-gerakan fasis semakin besar pula dukungan rakyat yang diperolehnya. Fasis di Jerman merupakan gerakan politik yang paling berutal tetapi sekaligus paling populer. Kondisi penting lainnya untuk pertumbuhan fasisme adalah pencapaian tingkat atau tahap tertentu dalam perkembangan industri. Dalam setiap perkembangan industri akan muncul ketegangan-ketegangan sosial dan ekonomi. Negara fasis mengingkari adanya kepentingan yang berbeda dalam masyarakat. Kalupun mereka dengan setengah hati mengakui adanya keragaman kepentingan dalam masyarakat, maka negara fasis itu akan mengatasi atau menghilangakan perbedaan itu dengan kekerasan.
Dalam masyarakat industri fasis menarik minat pada dua kelompok masyarakat secara khusus, pertama sistem itu menarik sekelompok kecil Industriawan dan tuan tunah yang bersedia membiayai gerakan fasis dengan harapan sistem itu dapat melenyapkan serikat-serikat buruh bebas, kedua menarik kelas menengah bawah terutama dikalangan pegawai negeri. Golongan ini lebih merasa aman dibanding bekerjasama dengan kaum proletar.
Kelompok sosial lain yang sangat rentan terhadap propaganda fasis adalah kelompok militer. Baik yang terjadi di Jerman, Jepang, pernan militer dalam pergerakan fasisme sangat dominan, demikianpun halnya dengan Italia. Di Argentina pemerintah yang semi konstitusional di singkirkan melalui suatu pemberontakan yang dilakukan oleh Perwira muda dibawah pimpinan Peron, yang memulai fasisme dengan gayanya sendiri dan dari namanya sendiri yaitu Peronismo.
Perkembangan selanjutnya, fasisme terbagi menjadai dua:
Pertama, fasisme yang berkembang dinegara Itali di bawah pimpinan Benito Mussolini, dan kedua fasisme yang berkembang di Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler yang dikenal dengan nazisme, yakni singkatan dari Nasional- Zosialisme. Bagi kedua aliran ini, negara adalah suatu organisme yang sesungguhnya. Sedangkan individu-individu hanyalah sebagai suatu yang harus tunduk kepada negara dalam segala hal. Jelasnya keduanya dipandang sebagai pemerintahan yang totaliter atau otoriter.

a)      Fasisme Italia
Perkembangan fasisme di Italia pertama kali harus dilihat dari sejarah politik bangsa ini. Pada awal perang dunia I Italia merupakan negara netral, akan tetapi satu tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1915 Italia mengumumkan perang terhadap Austria. Peperangan ini dilatarbelakangi perebutan daerah Tirol Selatan Istria, Dalmatia dari Austria yang diklaim Italia sebagai daerah Italia Irredent . Sebelumnya Italia telah melakukan  perjanjian untuk membentuk aliansi antara Italia, Perancis dan Austria yang dikenal dengan sebutan  Triple Alliantie  pada tahun 1882. Tetapi setelah terjadi konflik dengan Austria perjanjian itu mulai tidak konsisten dan sewaktu-waktu dapat keluar dari  Triple  Alliantie . (I Gamidi,1957:120).
Setelah daerah Tirol Selatan dan wilayah Istria berhasil direbut oleh Italia dari Austria, pihak Italia belum puas dengan hasil yang diperoleh dan  berambisi besar untuk mengembalikan kejayaan Imperium Romawi Kuno dimasa lampau. Ambisi yang besar itupun didukung oleh rakyat Italia, sehingga ketika perang dunia I berakhir, ambisi itu masih mengakar pada jiwa rakyat Italia yang ingin mengembalikan kejayaan Romawi. Setelah berakhirnya perang dunia I terjadi kekacauan disegala bidang, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial hingga munculnya  perasaan dikalangan masyarakat Italia akan kehancuran bangsanya itu. Akhirnya  pemerintah tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyatnya karena tidak berhasil memperjuangkan kehendak orang banyak. Disamping itu, keterlibatan Italia dalam  perang dunia I mengakibatkan negara mengalami krisis, mulai dari kekurangan bahan makanan, bahan mentah mengalami kenaikan harga, anggaran belanja pemerintah mengalami defisit sampai adanya ancaman inflasi. Rakyat Italia akhirnya meluapkan kemarahan terhadap pemerintah dengan melakukan sejumlah demonstrasi dan perusakan. Para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik melakukan tindakan pemberontakan dan mengeluarkan pemiliknya dari pabrik. Sehingga pemogokan kerja terjadi di mana-mana sehingga melumpuhkan industri dan pusat pemerintahan yang vital. Selain aksi perusakan yang dilakukan kaum buruh, perusakan juga dilakukan oleh petani. Para petani melakukan perampasan terhadap pemilik tanah dan membakar rumah serta menghancurkan hasil panen. Akibat kekacauan serta terjadinya krisis ekonomi yang  berkepanjangan tidak berhasil diatas mengakibatkan kemunduran dibidang pendidikan,  banyak kaum muda terpelajar tewas selama perang dunia I berlangsung. Hal ini mengakibatkan kekurangan tenaga pengajar sekolah-sekolah di Italia. Kekacauan-kekacauan yang berlangsung di Italia pasca perang dunia I mengakibatkan mudahnya paham fasisme masuk, tetapi sebelum berkembangnya paham fasisme di Italia, masyarakat Italia sudah dihantui akan paham-paham komunis. Tahun-tahun sesudah 1918 semakin mengindikasikan bahwa demokrasi di Italia akan diakhiri oleh komunisme dari  pada fasisme. Ditambah lagi terjadi peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di Rusia yaitu Revolusi Rusia. Revolusi Rusia mengubah tatanan sosial baru yang dipelopori oleh Bolsheviks Lenin yaitu komunisme. Dalam keadaan ini, tampak bahwa bukan tidak mungkin paham komunisme ini akan menyebar ke kawasan Eropa Barat, hal ini telah terjadi pada tahun 1920, dimana komunis telah menduduki pabrik-pabrik di Turin dan Milan (Hugh Purcell, 2004:27).
Ketidakcakapan Raja Victor Emanuel III dalam memimpin, menyebabkan rakyat kurang percaya lagi kepada rajanya. Hal ini dimanfaatkan oleh Benito Mussolini melalui gerakan Ultra Nasionalis yang mendapat dukungan besar dari rakyat Italia. Pada tahun 1922 itu Partai Fasis yang dipimpin oleh Benito Mussolini dan beranggotakan 50 ribu orang mengadakan long march ke Roma dengan tujuan menuntut Perdana Menteri Italia untuk mengundurkan diri. Upaya inipun  berhasil, dimana pada tahun 1922 Benito Mussolini menuntut Raja Victor Emanuel III turun dari jabatannya sebagai raja. Cita-cita rakyat untuk mengadakan perubahan dalam struktur pemerintahan akhirnya berhasil. Pemerintahan Italia berada ditangan Mussolini, karena sebelum Mussolini berkuasa rakyat Italia sudah mengenal baik Mussolini yang dikenal tegar dan berwibawa, sehingga dalam merebut kekuasaan dari Raja Victor Emanuel III Mussolini mendapat dukungan dari rakyatnya yang mengharap perubahan. Akhirnya Mussolini menguasai Italia dengan semangat fasisme dan kepemimpinannya  bersifat otoriter. Mussollini dalam menjalankan ideologi fasisme mendapat dukungan dari negara sekutunya yang sama-sama berideologi fasis yaitu Jerman.
b)     Fasisme Jerman
Setelah Jerman mengalami kekalahan pada perang dunia I dari blok Barat (sekutu), Jerman mendapatkan sanksi karena Jerman di nilai menjadi blok sentral dalam perang dunia I. Sanksi yang diberikan blok sekutu atas Jerman berupa membayar segala kerugian yang terjadi pada perang dunia I kepada negara-negara yang menang perang yaitu blok sekutu. Hal ini ternyata tidak didukung oleh keuangan Jerman dimana ketika perang dunia I berlangsung banyak anggaran negara Jerman jebol untuk membiayai amunisi selama  perang berlangsung, ditambah lagi perekonomian Jerman yang lagi terpuruk akibat imbas dari perang dunia I. penderitaan Jerman pasca perang dunia I ternyata tidak jauh berbeda dengan yang dialami Italia, pengangguran dan angka kriminalitas meningkat tajam sehingga memperparah keadaan. Hal ini tidak kelak menimbulkan kemarahan dan rasa  benci memiliki keinginan untuk balas dendam dalam jiwa bangsa Jerman kepada negara-negara yang tergabung dalam blok sekutu.
Keterpurukan Jerman mulai bangkit ketika Adolf Hitler dinobatkan menjadi pemimpin Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jerman (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiter Partei) atau yang lebih dikenal dengan nama  NSDAP atau Nazi. Partai Nazi mengembakan paham yang didalamnya mengajarkan  semangat chauvinisme dan sangat mengagungkan bangsa Jerman sebagai bangsa keturunan dari ras Arya yang dikenal agung dan mulia, berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya yang dianggap sebagai keturunan bangsa-bangsa primitif. Setelah Hitler menguasai Jerman, langkah Hitler yang pertama adalah memperbaiki kondisi ekonomi Jerman yang mengalami keterpurukan. Dan setelah itu, langkah yang dianggap berani ketika Hitler mengampanyekan penolakan terhadap isi perjanjian Versailles karena dianggap sebagai penindasan dan perampokan paksa atas lepasnya beberapa wilayah kekuasaan Jerman di Eropa dan Afrika. Dalam isi perjanjian Versailles disebutkan bahwa Jerman menerima tanggungjawab penuh sebagai penyebab peperangan dan harus melakukan perbaikan-perbaikan pada negara-negara tertentu yang tergabung dalam blok sekutu.
Selain itu, aturan lain dalam perjanjian itu adalah penyerahan sebagian wilayah Jerman kepada beberapa negara tetangganya, pelepasan koloni seberang lautan dan Afrika milik Jerman, serta pembatasan pasukan militer Jerman yang diharapkan dapat menghambat Jerman untuk kembali memulai perang. Sejumlah protes terhadap perjanjian tersebut terjadi dimana-mana di Negara Jerman, karena dalam merumuskan perjanjian itu, Jerman tidak diikutsertakan dan selanjutnya menarik diri dari perundingan. Tetapi  belakangan Menteri Luar Negeri Jerman Hermann Müller setuju untuk menandatangai  perjanjian pada 28 Juni 1919. Dan kemudian diratifikasi oleh Liga Bangsa Bangsa (LBB)  pada tanggal 10 Januari 1920. Akibat isi dari perjanjian itu, dan semangat Hitler untuk melakukan penghapusan perjanjian mendapatkan dukungan dari rakyat Jerman. Ambisi Hitler untuk membangun kembali kebesaran bangsa Jerman dan ingin menjadikan Jerman sebagai  Lord of The Earth (Raja dimuka Bumi) mendapat jalan yang mudah dimana pada tahun 1934 Partai Nazi menjadi partai yang besar dan yang berkuasa di Jerman hingga Hitler diangkat menjadi Perdana Menteri. Hitler pun merangkap jabatan sebagai Presiden  pada tahun 1934 dikarenakan Presiden Jerman pada saat itu Paul von
 Hindenburg meninggal dunia. Ketika Hitler berkuasa dan kemudian memimpin Jerman dengan dictator yang bersifat absolut dan totaliterisme.Setelah Hitler berkuasa dan memperoleh legitimasi dari rakyat Jerman kemudian Hitler dan partainya Nazi yang menganut paham fasis dengan menitik beratkan pada keunggulan ras murni bangsa Jerman dan  menyingkirkan kaum yang mereka sebut sebagai  Lebensunwertes Leben,  kelompok seksi-seksi Yehuwa, orang-orang cacat mental atau fisik dan komunis. Atas dasar isi perjanjian yang telah disebutkan dimuka, maka Hitler memulai untuk memperkuat persenjataan militer dan melakukan pelatihan-pelatihan militer untuk melakukan ekspansi ke negara-negara Eropa. Tidak cukup sampai disitu, Hitler pun mendorong pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan perang seperti senjata, amunisi, tank dan lan-lain untuk lebih banyak lagi memproduksi hingga menerapkan sistem lembur  bagi para buruh di pabrik tersebut. Pemulihan ekonomi pasca mengalami keterpurukan  berhasil diatasi ketika Hitler berkuasa. Pemerintahan Hitler berhasil menghapus  pengangguran di Jerman dengan menciptakan berbagai proyek yang menyerap banyak tenaga kerja seperti proyek pembangunan authobahn dan proyek persenjataan militer Jerman. Selain itu, Hitler juga menambah anggaran militer Jerman yang sangat besar pada awal tahun pemerintahannya, anggaran yang begitu besar sampai tidak habis dipakai. Dengan anggaran yang besar itu, pasukan tentara Jerman menjadi sangat kuat khususnya altireli tank-tanknya. Setelah pasukan militer Jerman yang sangat kuat, ambisi Hitler untuk merebut kembali kekuasaan Jerman yang pernah lepas akibat perjanjian Versailles menjadi terbuka lebar, karena Hitler didukung oleh rakyat Jerman yang ingin mengembalikan kekuasaan Jerman. Hal ini juga didukung dengan doktrin bahwa bangsa Jerman merupakan bangsa yang paling unggul dan bersal dari keturunan bangsa Arya yang dianggap bangsa yang mulia dan diangungkan. Doktrin inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar ideologi fasis di Jerman. Langkah awal Hitler seperti yang telah disebutkan diatas yaitu ingin mengembalikan wilayah kekuasaan Jerman yaitu dengan merebut kembali wilayah Rhineland dan kemudian pada tanggal 15 Maret 1938 Hitler  berhasil merebut tanah kelahirannya yaitu Austria.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan.
Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam itu di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan kekerasan menjadi hukum mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.
            Ebenstein (2006:154) mengatakan fasis mungkin tidak lagi merupakan sebagai ancaman bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang terkemuka. Tetapi tidak menutup kemungkinan gejala-gejala untuk megambil oper pemerintah jika dilihat-gejala-gejala masih ada.
Gejala-gejala ini bisa dilihat adanya gerakan-gerakan yang terjadi misalnya di Amerika serikat yang anti-intelektual yang melemahkan proses-proses rasionalitas. Gejala lain adalah munculnya gejala rasialisme dibebarapa negara, gejala lain adalah bermunculan keresahan-keresahan sosial di tengah masyarakat yang muncul akibat ketidak berhasilan sistem demokrasi, yang juga anti komunis. Alternatif praktis bukanlah diantara 100 persen baik dan 100 persen jahat, tetapi selalu diantara campuran-campuran kedua keadan itu dengan porsi yang berbeda.
C.  Pengaruh Fasisme terhadap Indonesia
Fasisme merupakan paham yang membahayakan dan merusak bangsa Indonesia. Paham ini berawal dari Itali, Jerman, dan Jepang yang disinyalir telah masuk ke Indonesia. Sutan Sjahir mengkritik bahwa fasisme ini telah ada di Indonesia. Kritikannya ini berangkat dari pengamatan dan ketajaman analisisnya mengenai perkembangan di dalam negeri dan dunia, yang diakibatkan oleh kolonisasi otoriter Belanda dan fasistis Jepang. Sutan sjhrir melihat bahwa para pemuda khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya telah terjangkit paham fasisme. Bahkan lebih jauh sutan mengatakan bahwa sifat fasisme menurut pandangannya sudah mempunyai akar dalam feodalisme pribumi, ditambah pengalaman kolonialisme otoriter Belanda dan fasisme militer Jepang. Fasisme menolak nilai-nilai demikrasi dan mempertahankan kapitalisme sebagai sistem ekonomi. Menurut paham fasisme, manusia pada hakikatnya tidak sama dan harus dipaksa untuk mengaku ketidaksamaannya.
Pengertian ini berangkat dari analisisnya mengenai konstelasi politik internasional terutama di Eropa Barat terhadap kekuatan reaksioner, yag mana menurut Sjahrir bahwa paham yang ada dalam masyarakat akan mengalami perkembangan menjadi gerakan yang akan terus melawan kekuatan demokrasi, yang mana juga seluruh kekuatannya. Fasis tersebut bekerja melawan kemajuan dan kebebasan manusia universal.





SOSIALISME – KOMUNISME

            Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2) komunisme,(3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
            Dalam membahas sosialisme tidak dapat terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan yang mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx, Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang sama. Hal ini dilakuakn sebab Marx ingin membedakan teorinya yang disebut “sosialisme ilmiah” dari “ sosialisme utopia” untuk menghindari kekaburan istilah dua sosialisme dan juga karena latarbelakang sejarahnya. Marx memakai istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak lebih bersifat revolusioner.
            Dengan demikian dapat dikemukakan, sosialisme sebagai idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang dianggap benar mengenai tatanan politik yang mencita-citakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata melalui jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan.
Komunisme atau communitas (latin) yang berarti kemasyarakatan adalah suatu bentuk sistem masyarakat di mana sarana-sarana produksi dimiliki secara bersama. Pembagian hasil produksi dilakukan sesuai kebutuhan seseorang. Sebagai ideologi, komunisme muncul ketika revolusi Perancis, kemudian dengan ajaran Kart Marx membawa pengaruh yang sangat besar sehingga disamakan dengan komunisme. Marx banyak menerima pokok ajaran dari Feuerbach tanpa analisis yang menyeluruh hingga dalam perkembangannya istilah komunisme kemudian dimonopoli oleh partai/golongan komunis.

Perbedaaan sosialisme dgn komunisme (Marx) :
Sosialisme merupakan sebuah masyarakat yang langsung timbul dari kapitalisme sebagai bentuk pertama dari masyarakat baru dan dalam kerjanya tidak menerima bantuan dari kapitalisme, termasuk hal yang bersifat sosial. Sedangkan komunisme adalah masyarakat yang lebih tinggi, di mana hanya dapat berkembang jika sosialisme mempunyai kedudukan yang kuat. Apabila dalam masyarakat sosialis penghisapan manusia atas manusia lainnya sudah berakhir, alat-alat produksi dimiliki sepenuhnya oleh kaum buruh, serta setiap manusia memberi menurut kemampuaannya dan menerima sesuai dengan bobot pekerjaannya sebagi wujud usahanya untuk menwujudkan masyarakat tanpa kelas; tidak ada kelas yang menghisap dan dihisap. Sedangkan pada masyarakat komunis, setia manusia memberi menurut kemampuannya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya .

Prinsip Dasar Sosialisme.
Walaupun banyak terdapat aliran atau pengertian sosialisme, tetapi ada sejumlah prinsip dasar dari sosialisme itu sendiri, yaitu :
1.      Semua bentuk Marxisme dapat diketegorikan sosialisme, tetapi tidak sebaliknya.
2.      Meskipun tidak mudah merumuskan dengan persis apa itu sosialisme, paling tidak ada dua hal yang mempersatukan segala macam aliran revolusioner, egalitarian, anarkis, utopis, reformis, teknokrat, religius, dan sebagainya itu yang dinamakan dirinya sosialis.
3.      Keyakinan etis bahwa perekonomian harus diarahkan pada kesejahteraan segenap orang, bukan untuk keuntungan segelintir orang.
4.      Sumber ketidakadilan sosial adalah hak milik pribadi (atas alat-alat produksi).
5.      Sosialisme adalah cita-cita etis tentang masyarakat yang solider dan tuntutan penghapusan hak milik pribadi.

Sosialisme Karl Marx.
Cita-cita kolektivitas, kepemilikan bersama, atau apa yang dikenal saat ini dengan nama sosialisme kurang lebih di abad ke-5 SM sebenarnya sudah ada sebagaimana dideskripsikan oleh Jambulos, yakni adanya sebuah "negeri matahari" di mana disana segala-galanya dimiliki bersama, tak terkecuali para istri. Secara historis, pelbagai aliran sosialis sering dikaitkan ke era sebelum Karl Marx (18181883), bahkan kepada filosof yunani kuno, Plato (427-347).
Jauh sebelum Marx mengembangkan dan menjadikan sebagai cita-cita perjuangan menuju revolusi proletariat. Tokoh yang dapat dianggap pioneer dari cita-cita sosialisme secara sistematis dapat dirujukkan kepada Francois-Noel Babeuf (1760-1797). Kemudian Saint Simon (1760), Auguste Blanqui (1805-1881), Weitling (1808-1871) Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), Louis Blane (1811-1882), Moses Hess (1812-1875).
Dalam Sosialisme Karl Marx, paling tidak ada 3 (tiga) pemikiran yang mempengaruhi Karl Marx, yaitu ajaran Hegel, filsafat materialisme Feuerbach, dan teori revolusioner Perancis (terutama gagasan-gagasan para sosialisme utopis)

Ajaran G.W.F Hegel (1770-1831) : Metode untuk mendekati, memahami, dan mempelajari gejala alam, Marx mengambil dari materialisme, dialektika Hegel. Materialisme dialeketika Hegel menjadi inspirasi materialisme dialektika Marx yang dikembangkan menjadi materialisme historis sebagai puncak prestasi ilmiahnya. Bagi Hegel, alam adalah proses mengelar pikiran-pikiran yang menimbulkan proses alam, sejarah manusia, organisme, dan kelembagaan masyarakat. Materi baginya kurang rill dibandingkan jiwa. Pikiran atau jiwa menurut Hegel esensi alam. Marx menolak idealisme Hegel tersebut dengan membalikkan filsafatnya dan mengatakan materi pokok dari alam, bukan jiwa atau pikiran. Pada organisasi ekonomi masyarakat misalnya, disini jelas menurut Marx bahwa cara-cara produksi (materi) menentukan kelembagaan politik dan sosial yang ada.
Dalam dialektika Hegel, dunia berada pada sebuah proses perkembangan atau perubahan yang bersifat dialektika. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung melalui tahap afirmasi (tesis), pengingkaran (anti tesis), dan akhirnya sampai pada tahap integrasi (sintesis). Marx kemudian menggagas materialis dialektikanya berdasarkan materi dari materialisme dialektika Hegel. Jika bagi Hegel dan kaum idealis pada umumnya alam merupakan buah hasil dari roh, sedangkan bagi Marx dan Engels semua yang bersifat rohani merupakan hasil dari materi Bagi Marx, kekuatan material (modal) menentukan dalam masyarakat, termasuk perkembangan evolusi serta fenomena lain, onorganik, organic atau manusia; kebiasaan dan tradisi politik, sosial dan agama. Yang menentukan sejarah menurut Marx adalah produksi dan kelahiran manusia. Keterpesonaan terhadap filsafat Hegel, Marx kemudian mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengerakkan bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik reaksioner.
Secara filosofis, rakitan dari materialisme dialektika Hegel tersebut ditemukan persepsi yang sama pada literatur kaum Marxist, yaitu ada tiga dalil (1) dalil perubahan pada kuantitas dapat menimbulkan perubahan kualitas, (2) dalil kesatuan dan pertentangan dari lawannya, atau hukum kontradiksi yang lazim disebut dengan hukum "interpenetration of opposities", kelanjutan bagian dari dalil pertama sebelumnya, dan (3) pengingkaran terhadap pengingkaran (the law of the negation of negation).

Ludwig Feuerbach : Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenatan dengan filsafat klasik Jerman, yaitu materialisme Ludwig Feuerbach. Menurut Feuerbach, manusia merupakan sesuatu yang abstrak. Adapun gagasan menurut Feuerbach adalah "renungan" dari "kenyataan material" yang menentukan kegiatan manusia.
Menurut Marx, dengan memposisikan manusia sebagai yang abstrak, Feuerbach tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh tetapi juga gagal melihat bahwa hal itu sendiri merupakan produk sosial. Filsafat Feuerbach berhenti pada menempatkan gagasan sebagai renungan dari kenyataan material, padahal antara kesadaran dan praksis manusia terdapat suatu hubungan timbal batik. Ketika Feuerbach memperlakukan "kenyataan materil" sebagai yang menentukan kegiatan manusia, Feurbach menurut Marx tidak melakukan analisis modifikasi dunia "obyektif dan subyektif yaitu terhadap kegiatan manusia.

Revolusi Perancis : Kendatipun Marx banyak mengkritik materialisme Feuerbach, namun dipertahankannya (juga Engels) dan dijadikan teori filsafatnya. Ketika menjelaskan hal-hal yang rohani dari jasmani serta mencurahkan segala perhatian kepada pembebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri, antara Marx dengan Feuerbach tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi Marx tidak hanya sampai di situ, ia kemudian melacak asal keterasingan tersebut hingga menemukannya setelah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris, yaitu berlangsung dalam proses pekerjaan manusia
Menurut Marx, masyarakat sosialis akan segera terwujud dalam masyarakat yang menganut sistem Kapitalisme. Sejak abad ke-19, ideologi kapitalismeliberalisme sebenarnya telah popular sebagaimana pertama tumbuh dan berkembang di Amerika dan hampir di semua negara Eropa Barat.
Kapitalisme sendiri memiliki karakteristik antara lain pekerjaan yang seharusnya sebagai wujud perealisasian diri menjadi de-realisasi diri, manusia tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaannya, sehingga "kehilangan dirinya sendiri", dan manusia berada di bawah kekuasaan kekuatan obyektif asing (kekuasaan, sosial, dan politik)
Oleh karena itu, menurut Marx, manusia hanya dapat dibebaskan dari jerat kapitalisme, bila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh. Inilah yang merupakan substansi dari sosialisme klasik.
Dalam sosialisme klasik ini, Karl Marx mengemukakan bahwa untuk mencapai masyarakat komunis tanpa klas, dapat dicapai melalui 5 (lima) tahap dalam Sistem Produksi, yaitu :
1.      Sistem komunisme primitive sebagai tingkatan ekonomi awal yang bercirikan, kepemilikan secara kolektif. Pada tahap ini teknologi belum ada dan masyarakat hidup damai.
2.      Sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan serta bercirikan telah  lahirnya hak milik pribadi. Disinilah sistem pertanian dan pengembalaan menggantikan perburuan sebagai sarana hidup. Akibatnya, ketika kelompok minoritas mengusasi sarana hidup, maka pertarungan kepentinganpun mulai timbul.
3.      Tahap dimana kelompok-kelompok feodal sudah menguasai penduduk. Seluruh kelebihan hasil yang dimiliki penduduk dikuasai oleh para feudal. Masyarakat hanya dapat hidup secara sangat sederhana.
4.      Lahir sistem borjuis/kapitalis dengan ciri meningkatnya perdagangan, produksi, dan pembagian kerja. Sistem pabrik ini akhirnya melahirkan industrialis  kapitalis yang menjadi sebagai pemilik modal sekaligus pengontrol alat-alat produksi.
5.      Sistem sosialisme.
Argumen yang diajukan Karl Marx terhadap tahap-tahap tersebut yang dilalui melalui revolusi sosial adalah :
a)        Berdasarkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, pilihan revolusi kaum buruh merupakan kesimpulan yang tidak terelakkan (sosilisme ilmiah: tidak hanya bersandar dan didorong oleh cita-cita moral, tetapi juga berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat.
b)        Manusia tidak akan dapat mengembangkan dirinya secara utuh karena terpecah ke dalam kelas-kelas sosial. Penyebab keterpecahan tersebut adalah sistem struktur, bukan sekadar masalah kehendak buruk sekelompok orang yang membeku dalam modal dengan hukum-hukum yang menguasainya. (sistem kapitalis).
c)        Bukan kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial, tapi sebaliknya. Adapun factor determinannya adalah produksi, sebab keadaan ekonomi seseorang sangat menentukan cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan hidupnya.

Menurut Karl Marx, ada 2 (dua) tingkatan revolusi dalam masyarakat yang terdiri dari :
a)        Tingkatan peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Di masa ini orang mengadakan perubahan yang revolusioner. Kelas - kelas di dalam masyarakat hilang dengan sendirinya seiring dihilangkannya hak milik pribadi atas sarana produksi, distribusi, dan pertukaran.
b)        Tingkat kedua adalah tingkat kelima atau tipe terakhir dari sistem produksi, yaitu terciptanya "masyarakat tanpa kelas" atau komunisme murni. Alat-alat produksi telah manjadi milik masyarakat, yaitu negara, di mana sejarah umat manusia telah ditutup dengan suatu negara bahagia, sintesa dari dua zaman sebelumnya yaitu sosilisme (tesa) dan kapitalisme (antitesa).



DAFTAR PUSTAKA

Djoened, Marwati Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
                   Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka
Djoened, Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah  nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984
Ebyhara, A. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid II. 1990. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka
Hamdi. 2013. liberalisme di indonesia masa kolonial belanda.
Ir. Soekarno. 2001. “Imperialisme di Indonesia”, dalam Indonesia Menggugat, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Malaka, Tan, 2008. Kapitalisme Indonesia, dalam Aksi Massa. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Kartodirjo, S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Marwati Djoened Poesponegoro,Sejarah Nasional Indonesia volume IV, Jakarta : Depdikbud. 1982


Website:
Ayok. 2008. Akar Sejarah Pemikiran Liberal (Online). http://ayok.wordpress.com/2008/07/18/akar-sejarah-pemikiran-liberal/. Diakses 28 Februari 2014.
Hart, M. Tanpa Tahun. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Online). http://media.isnet.org/iptek/100/Voltaire.html. Diakses 19 September 2014.
http://www.sibarasok.com/2013/10/kebijakan-masa-penjajahan-belanda-ii- di.html. (Online). Diakses tanggal 19 September 2014.





1 komentar:

  1. NBA Odds & Lines | NBA - Sporting 100
    NBA 군산 출장샵 Odds and Lines. Today's NBA betting news, preview, 토토사이트 and futures lines. Odds 강원도 출장안마 provided by Sporting 100. The most reliable source 제주 출장안마 for NBA odds and 통영 출장마사지

    BalasHapus